“Mommyyyy! Mbak Aning galak banget!” suara melengking membelah ruangan.
“Hush! Kamu lapor ke Mom, aku gak mau bantu PR kamu!”
Seorang guru monster dan muridnya yang tertindas berhadap-hadapan. Mencoba menghapalkan bilangan hasil perkalian.
“Tiga kali satu?”
“Tiga,” suara lirih terdengar.
“Tiga kali dua?”
“Enam,” jawaban si murid masih lirih.
“Tiga kali tiga?”
“Sem…sembilan…”
“Bagus. Tiga kali empat?”
Beberapa detik terjeda. Bocah itu menghitung jari.
“Tiga kali empat??” suara pertanyaan makin keras.
Kembali si bocah menghitung jari, lebih pelan. Gelisah.
“Tiga kali empat? Heh, jawab! Salah gakpapa!”
Mata bulat memandang takut-takut.
“Berapa tiga kali empat?” pertanyaan itu diulang.
“Seb…seb…sepuluh?”
“Bukan sepuluh! Yang benar jawabnya?!”
“Katanya salah gak papa…,” suara tersedak menahan tangis terdengar.
Si guru mendengus.
“Kamu harusnya udah mulai belajar bilangan pecahan. Masa’ perkalian aja masih gak bisa? Masih salah-salah?”
“Jangan marah mulu kalau ngajarin aku,” keluh si pemuda kecil, dengan suara bergetar karena tangis dan jengkel.
“Makanya, kamu kenapa nggak ngerti-ngerti sih?” sembur Aning berlipat jengkel.
Bayu, yang baru duduk di bangku kelas tiga SD, mengusap hidung. Matanya berair.
“Ayo, baca lagi soalnya!” suara Aning sedikit membentak.
Terlihat pemandangan penindasan yang lazim terjadi pada para kakak yang tengah mengajari adiknya membaca atau menyelesaikan tugas matematika. Sang kakak, yang lebih galak dari guru paling senior yang ada di sekolah, menikmati adegan bentak membentak itu sebagai bentuk pelampiasan. Yah, mungkin masa kecilnya pun dilalui dengan kehebohan bab mengenali huruf-huruf dan angka-angka. Masalahnya, anak sulung sering mendapatkan limpahan kasih sayang dan perhatian dari ayah bunda serta orang-orang sekitar. Sementara anak bungsu mendapatkan limpahan dampratan dari kakak-kakaknya yang belum siap jadi teladan.
Pelajaran matematika berakhir dengan tragis : murid yang menangis dan kemarahan guru yang sadis. Berganti mata pelajaran berikut yang lebih menakutkan : m-e-m-b-a-c-a.
Yang bersemangat belajar di malam hari itu adalah Aning. Sementara adiknya memandang penuh ketakutan, tapi tak punya daya untuk menolak. Perlahan menggeser buku dan pensil berisi angka-angka, berganti buku yang dipenuhi simbol yang sulit dimengerti. Simbol garis, bundaran, lekukan, sudut. Aduh, susahnya!
“Dengerin Mbak ngasih contoh, ya. Ulangi nanti,” Aning mencoba memelankan suara.
Terdengar lembut tapi juga penuh intimidasi.
Ikan merupakan salah satu contoh makhluk hidup
Ikan bernapas dengan insang
Ikan bergerak dengan cara berenang menggunakan sirip
“Ngerti?” tanya Aning.
Bayu terdiam.
“Ngerti, nggak?” ulang Aning.
Si pemuda kecil mengangguk pelan, terpaksa.
Bayu melihat buku pelajaran warna warni di depannya. Berusaha mengerahkan kemampuan konsentrasi. Suaranya pelan ketika memulai.
“Ikan merupakan…,” suara lirih mengeja.
“Kerasin dikit suaranya. Mbak gak dengar,” tegur Aning.
“Ikan merupakan salah satu…,” Bayu masih terbata.
“Kerasin, Dek!”
“IKAN merupakan…salah SATU…contoh…,” suara Bayu turun naik. Melemah. Keras.
Aning menatapnya galak sembari mendengus, “Terusin!”
“Contoh mak…,” Bayu berhenti. Mengulangi lagi potongan kata yang sama.
“Apa?”
“Contoh mak…,” Bayu menajamkan penglihatan.
“Apa? Kerasin!”
“…mak…mak…mak…ha…el..”
“Mommyyyyy!” ganti Aning yang berteriak memanggil sang ibu dengan suara heboh.
Tangis Bayu pecah.