Alunan musik membuaiku dalam kelalaian. Mobilku melaju dalam kecepatan standar. Pepohonon seiring menari mengiringi perjalananku. Dua jam sudah berlalu tapi tak kunjung kediaman yang aku tuju tampak di hadapan. Ah, mulai terasa boring. Aku pun menatap wajah lelaki yang berada disampingku. Tangan-tangannya teramat lihai memainkan setir sembari lalai menatap keadaan di hadapannya. Tampak wajah letih menari-nari menghiasi raut mukanya yang sedikit berpeluh. Yah, maklum AC mobilku mulai tak berfungsi lagi.
“Masih jauh ya bang?” tanyaku sembari memandangi deretan pepohonan yang terus berlarian mengiringi perjalanan ini.
“Hmm…sekitar empat puluh menit lagi” sahutnya sembari melirik arloji yang terletak agak miring di tangannya.
Mataku menelusuri seluruh isi mobil ini. Ah, penuh sesak dengan beragam barang-barang, mulai dari koper yang berisi pakaian, tas dengan berbagai perlengkapan, hingga kardus yang berisi beragam peralatan dan oleh-oleh. The Queen Elizabeth Way, yah begitulah yang ada dalam peta petunjuk yang sedari tadi aku pegang ketika aku kembali meliriknya sembari memandangi mobil yang berjalan berlawanan dari arah depan. Inilah jalan yang harus dilalui dari arah Barat Toronto bila hendak memasuki kota indah tersebut.
Aku mengela nafas pajang. Kembali aku mengingat-ingat alasanku harus mengikuti Bang Ihsan pindah ke kota Toronto. Padahal selama ini aku merasa cukup senang tinggal bersama Uncle Bill di kota Sudbury, Kanada. Tapi Bang Ihsan juga tidak ingin terus bergantung pada Uncle Bill yang selama ini sudah sangat baik dengan kami. Ketika Bang Ihsan mendapatkan jaminan beasiswa lanjutan studinya di Toronto, ia langsung mengajakku untuk pindah ke sana dan tinggal di sebuah apartemen sederhana. Lagipula, sudah hampir setahun aku dan Bang Ihsan tinggal terpisah di dua kota yang berbeda dan jaraknya juga berjauhan. Aku pun hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup dengan menjadi kasir di sebuah mini market. Sedangkan Bang Ihsan harus bisa membagi waktu antara studi dan kerja part time-nya agar biaya hidup kami tidak kekurangan. Nah, saatnyalah bagi kami untuk dapat tinggal bersama kembali walaupun dalam sebuah apartemen yang sangat mini.
“Bang…” aku memanggilnya dengan lembut.
“Ya?” sahutnya tanpa melirikku karena matanya terlalu sibuk memperhatikan berbagai rambu lalu lintas.
“Tadi Abi telpon dari Aceh. Abi cuma tanya apa kita hari ini jadi pindahan” jelasku.