Lantunan suara kurasakan bagai bisikan. Semakin kudengar semakin samar. Hingga berlahan kubuka mataku dan suara itu terdengar semakin jelas. Aku, aku berpikir sejenak. Ntah apa yang ada dibenakku saat ini. Akh, rasa sakit yang begitu menyengatku. Aku hanya dapat merabanya dengan jariku. Kepalaku…
Aku mencoba memandang sekeliling. Tersadar aku tengah berada di sebuah ruangan yang sejuk bercat putih di seluruh sudutnya. Di sisi kananku terdapat sebuah tempat tidur berwarna putih dengan seorang nenek yang tengah menikmati kopi hangatnya ditemani sebuah majalah. Ia duduk bersandar di tempat tidurnya sambil terus mengeja huruf demi huruf dari majalah yang dipeganggnya. Matanya terus dipicingkan seakan kesusahan untuk melihat apa isi majalah tersebut.
“Oh my Godness. Where is my glasses?” gumamnya sambil mencari-cari sesuatu di meja tempat tidur yang berada disebelahnya.
Aku kembali menatap sisi kiriku. Sebuah jendela dengan ukuran besar dan gorden berwarna putih menyilaukan mata. Sinar matahari mengintip dari balik jendela. Namun aku hanya dapat melihat hijau pepohonan yang berada diseberang jendela.
“Oh, dimanakah aku?” bisikku dalam hati.
Tanganku kembali meraba-raba tubuhku yang terasa sakit. Akh, tanganku ternyata memiliki luka yang telah diperban. Aku mencoba bangkit dari pembaringanku namun aku tak kuasa. Hanya kepala yang dapat sedikit kutekuk hingga aku dapat melihat seluruh tubuhku yang tengah berbalut pakaian biru bertuliskan ‘St. Michael ‘s Hospital’ di sisi dadaku. Kembali kepalaku terasa sangat berat.
Suara demi suara kembali terdengar. Semakin jelas dan semakin dekat. Kembali aku menoleh ke arah kanan. Terlihat dua orang laki-laki mengenakan jas putih tengah berbincang sembari berjalan menuju pintu yang terletak di dekat tempat tidur sang nenek menuju ruangan ini.
“Good morning grandma Brandy” sapa salah seorang lelaki dengan rambutnya yang berwarna hitam kecoklatan tak lupa melemparkan sebuah senyuman.
“Morning doc!” jawab sang nenek terba-bata sambil terus mencari-cari kacamatanya yang hilang.
Lelaki satunya melirikku dan tersenyum hangat. Lelaki paruh baya dengan rambut kuning kecoklatan dan mengenakan kaca mata minus berjalan dibelakang lelaki yang tadi menyapa sang nenek hingga keduanya berhenti tepat dihadapanku.
Jas yang dikenakan keduanya terlihat sedikit berbeda. Dr. Michael Jack, itulah yang terlihat di sisi kiri jas milik lelaki berambut hitam kecoklatan dengan mata yang sedikit cipit. Namun aku tidak melihat ukiran identitas di jas lelaki yang satunya.
“Good morning. Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Dr. Michael Jack.
“I…..I…” hanya itu yang dapat keluar dari mulutku.