Suara instruksi dari sutradara menggema di seluruh lokasi syuting. Kru berlalu-lalang, membawa peralatan, menyesuaikan pencahayaan, dan memastikan setiap detail di tempatnya. Aku, sedang berdiri di samping trailer pribadinya bagas, menunggu dia selesai berdandan untuk adegan berikutnya.
Bagas bukan sekadar aktor terkenal. Dia adalah legenda hidup di industri perfilman. Setiap film yang dibintanginya selalu sukses besar, dan dia dikenal dengan dedikasinya yang luar biasa. Tapi, di balik sosoknya yang karismatik di depan kamera, aku tahu betul betapa sibuk dan menegangkannya kehidupan di belakang layar.
Pagi itu, kami syuting di sebuah lokasi terbuka di pinggiran kota, dengan latar pegunungan yang indah. Angin sepoi-sepoi bertiup, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Para kru bekerja keras menyiapkan set, sementara para aktor pendukung berkumpul, menunggu giliran mereka. Aku memegang jadwal syuting hari ini, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
"Rania, tolong ambilkan air mineral," suara berat Bagas memanggilku dari dalam trailer. Aku segera bergegas mengambil botol air dari meja kecil dan menyerahkan padanya.
"Terima kasih," katanya singkat sambil menghela napas. Aku bisa melihat guratan lelah di wajahnya, meskipun dia selalu berusaha tampil prima di depan banyak orang.
"Masih ada waktu sepuluh menit sebelum adegan berikutnya, bagas," ujarku, mencoba memberinya kesempatan untuk sedikit beristirahat.
Dia hanya mengangguk, lalu duduk di kursinya, menatap bayangannya di cermin rias. Aku tahu dia sedang mencoba menghafal dialognya. Aku sudah lama bekerja dengannya, dan aku paham betul kebiasaannya sebelum syuting. Dia selalu butuh waktu untuk menyendiri, mendalami karakternya sebelum masuk ke dalam adegan.
Tiba-tiba, ada sedikit kekacauan di area set. Seorang kru pencahayaan berteriak bahwa salah satu lampu sorot tidak menyala. Sutradara tampak frustrasi, sementara para kru teknis berusaha memperbaiki masalah secepat mungkin. Aku menoleh ke Bagas, yang tetap tenang meski suasana mulai tegang.