Aisha mengelus perutnya yang masih rata. Sudah satu minggu ini ia belum jua datang bulan. Hanung masih sibuk dengan tuts keyboard ketika Aisha menghidangkan teh hangat di samping laptop yang sejak semalam terus menyala.
“Belum tidur juga, Mas?” tanya Aisha memijat bahu suaminya.
“Ini, kurang edit sebentar.”
“Oh. Aku nanti diantar ke kampus, ya Mas?” pinta Aisha.
Hanung masih membisu, namun jemarinya semakin cepat menyentuh huruf demi huruf.
“Bisa, nggak Mas?” tanya Aisha menghentikan pijatannya.
“Masih nanti, kan?”
Aisha mengangguk. Selama beberapa detik, Aisha mengamati naskah buku yang diketik suaminya. Sejak Semalam, Hanung belum juga memejamkan mata.
“Mas, kok nggak diminum teh nya?”
“Nanti,” jawab Hanung cepat.
“Nanti keburu dingin, lho,” ujar Aisha sambil berlalu dan menuju meja ruang tamu.
“Ini tulisannya dikit lagi selesai, tanggung, Dik,” ujar Hanung memberi keterangan.
Sejak Hanung memilih untuk keluar dari penerbit tempatnya bekerja sebagai editor, Hanung memutuskan untuk menjadi penulis. Ya, menjadi penulis sama seperti dirinya mahasiswa. Satu tahun menjadi editor sepertinya cukup melelahkan bagi pria bertubuh tegap itu.
Aisha duduk di ruang tamu dengan pikiran penuh tanda tanya. Jujur, sejak Hanung memilih keluar dari tempatnya bekerja, Aisha merasa tak tenang. Bahkan untuk menjawab pertanyaan tetangga, “ Mas Hanung kerja apa?” saja, Aisha harus berpikir beberapa waktu lamanya. Dulu, ketika Hanung masih bekerja sebagai editor di sebuah penerbit buku kenamaan, Aisha begitu bahagia menjawab pertanyaan mengenai pekerjaan suaminya. Namun kini?
Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan? Apalagi sebagai pengantin baru, tentu masih akan banyak orang yang bertanya mengenai pekerjaan suaminya. Kemarin, Aisha juga mendapat pertanyaan dari Bu Ike, tetangga belakang rumah. Bu Ike yang merupakan notaris dan istri dari pengusaha mebel itu bertanya tentang pekerjaan Hanung. Dan, Aisha belum bisa menjawab. Untung saja, buru-buru Bu Ike harus pergi, sehingga Aisha tidak harus menjawab pertanyaan sederhana yang belum siap dijawab.
“Lho, di sini, to. Aku mencarimu, Dik. Makasih teh nya ya. Segar banget,” ujar Hanung sambil membelai bahu Aisha.
"Iya, Mas. Oh, ya. Aku masih jam 10 ke kampusnya. Mas istirahat dulu, ya. Habis itu, baru ngantar aku,” usul Aisha.
Mata Hanung terlihat merah. Ada bekas-bekas kelelahan yang terbaca jelas dari wajahnya.
“Boleh. Udah sarapan?” tanya Hanung menatap lekat wajah istrinya.
Aisha menggeleng.
“Ya sudah, kita sarapan dulu,” ajak Hanung.
Aisha segera menuju dapur. Dengan cekatan, ia ambil sepiring nasi, sayur tahu kuah kuning, dan telur dadar. Menu masakan sederhana itu adalah menu masakan kesukaan Hanung, yang pelan-pelan mulai disukai oleh Aisha.
“Mas, perutku mual. Aku belum makan dulu, ya,” izin Aisha sambil menjauh dari Hanung.
“Jangan-jangan. Kamu hamil, Dik?” tanya Hanung girang.
Aisha tersenyum spontan. Secepat itukah?
“Nggak tahu, Mas.”
“Ya sudah, nanti periksa aja.”