Layaknya magnet yang mampu menarik benda-benda konduktor di sekitarnya, suara bentakan Rizman membuat seisi kelas menoleh. Bahkan aku yang tengah asyik meliukkan pulpen di buku catatan pun tersentak.
“Maksud lo apa, hah?” Wajah yang kata teman-teman handsome itu menegang dan tampak beringas. Sejak kelas sepuluh, Rizman memang begitu menonjol di antara yang lain, ditambah dia vokalis band sekolah menambah tingkat famous-nya di SMA kami.
“Ya gua cuma bilang, lo jangan tereak-treak di kelas,” timpal Andi yang ketakutan. Kerah bagian depannya berada di genggaman Rizman.
“Gua nyanyi! Bukan treak-treak gak jelas.”
Rizman meninju rahang rivalnya. Sedangkan yang ditinju tidak melawan. Cowok sekalem dan serajin Andi sepertinya kurang mampu berkelahi. Aku kenal dia, kami sekelas semenjak kelas X. bahkan dia tak pernah terlihat bertingkah dan tidak mudah terpancing emosi.
Beberapa siswa menghampiri mereka diiringi jeritan beberapa siswi. Sedangkan aku dan Wisni geleng-geleng. Sejujurnya suara Rizman memang sangat mengganggu, meski enak didengar. Namun, tidak perlu keras-keras sembari memukul-mukul meja layaknya gendang, kan?
Andi terhuyung ke meja. Dua orang cowok menahan Rizman. Aku menatap sekeliling, layaknya tontonan pertunjukan atlet tinju ternama yang digandrungi fans fanatiknya. Kelas kami berubah seperti arena pertarungan saja.
Murid dari kelas lain turut bergerombol demi menyaksikan kegaduhan di sini, ada juga yang sibuk mengambil gambar atau merekamnya. Sungguh zaman dan teknologi berkembang begitu pesat, bahkan banyak manusianya pun berpikir lebih penting mengabadikan momen itu dibanding melaporkan atau membantu melerai.
Aku bangkit dan menyelinap di antara gerombolan mereka untuk keluar dari kelas. Melaporkan kejadian itu kepada BK.
Pak Gandi, guru berperawakan tinggi besar dan berwajah tegas segera mengambil tindakan. Menyibak kerumunan murid-murid dan memerintahkan bubar dengan tegas. Seperti ultimatum panglima perang, perintah sang guru BK tak terbantahkan.
Saat mengekori Pak Gandi, terdengar bisik-bisik dan keluhan mereka yang masih sangat ingin menyaksikan perkelahian itu. Kini mereka layaknya penonton yang kecewa habis diusir petugas Pamong Praja karena menonton pertarungan ilegal.
Tak lama wali kelas kami, Bu Rosi menyusul. Turut memberi wejangan sebelum Rizman dan Andi dibawa ke ruang BK.
“Dua orang lagi ikut sebagai saksi!” kata Pak Gandi seraya menggiring kedua murid yang berkelahi.
“Saya, Pak!” Ketua kelas mengacungkan tangan. Disusul acungan tangan dari teman sebangku Andi. Mereka berjalan beriringan keluar untuk menyusul.
Seluruh kelas riuh, teman-teman masih membicarakan kejadian barusan. Ibu Rosi menyudahi dam mengisyaratkan perintahnya dengan mengetuk-ngetuk meja menggunakan penggaris kayu segitiga.
Seluruh murid menoleh seketika ke arah suara, lantas berusaha merapikan posisi duduk masing-masing.
“Kami di ruang guru baru menyelesaikan rapat, tapi di sini malah terjadi kegaduhan. Seperti anak TK saja,” papar Bu Rosi.
Hening, kami semua tak berani membantah.
“Ibu harap kejadian tadi tak terulang. Ibu mengerti kalian kembali beradaptasi dengan anggota kelas yang kebanyakan baru. Tetapi tetap jaga kerukunan, jadilah membanggakan! Jika tak bisa membanggakan pun, minimal jangan bertingkah memalukan.” Wejangan Bu Rosi terdengar lantang di antara detak jam dinding.
Beberapa dari kami mengangguk sepakat, yang lainnya lagi ada yang diam tanpa berekspresi apa-apa. Ada pula yang tak acuh. Pemandangan seperti ini biasa, bukan? Banyak kepala, berbagai macam karakter, latar belakang, dan tentunya berbeda pula cara menanggapinya.
“Baiklah, rasanya tak perlu panjang lebar ibu bahas masalah tadi. Kalian tentunya sudah bisa membedakan mana hal baik atau yang tidak, bukan?” Bu Rosi mengembuskan napas, lalu membetulkan letak kaca mata.
Beliau memanggil sekretaris dan bendahara kelas untuk maju ke mejanya. Samar-samar memberikan arahan untuk pembelian alat kebersihan, penataan kelas, dan beberapa hal lain. Mejaku yang berada di dekat jendela barisan kedua dari depan, tak cukup dekat untuk bisa mendengar jelas selurusnya.
Beberapa masa berlalu, seluruh murid menunggu instruksi Bu Rosi selanjutnya.
Sekretaris kelas kami, Aruni menerima spidol yang diberikan Bu Rosi. Berjalan ke dekat papan tulis, lalu menulis bagan pembagian jadwal piket. Sementara Nindi mengambil selembar kertas yang diserahkan Bu Rosi, kemudian berjalan ke meja teman di depanku untuk menagih uang kas.
Bu Rosi berdiri dengan tangan dimasukkan ke saku pinggir baju, lantas kembali menginstruksi. “Nah setelah uang kas minggu ini terkumpul, belikan bahan-bahan untuk membuat bagan struktur organisasi, jadwal pelajaran, dan jadwal piket,” Bu Rosi menyapukan pandangan ke sekeliling dinding ruangan. “Ibu kira kelas akan lebih nyaman dan indah jika ditambahkan beberapa hiasan kerajinan tangan,” imbuhnya lagi.
Rini mengacungkan tangan, “Gimana kalo ditambahin lukisan, kaligrafi, atau hiasan dinding buatan kita, Bu?"
“Ide bagus, baiklah ibu bagi tugas pada kalian, ya.” Bu Rosi menghampiri Aruni, lalu berkata sesuatu.