Senja, identik dengan nuansa romantika yang membangkitkan imajinasi tak bertepi bagi sebagian pengagumnya. Seperti diriku sekarang, di sinilah aku — di sudut jendela kamar yang terbuka.
Aku menengadah dengan semringah seraya mengkhayalkan hal-hal manis yang ingin kulakukan suatu saat nanti bersama seseorang yang kucintai. Tidak, tetapi kuharap kelak kami saling mencintai. Mana nyaman memiliki cinta sepihak, bukan? Pun hal itulah yang kutakutkan ketika aku jatuh hati kepadanya, dia seseorang yang selalu menjadi objek goresan-goresan penaku.
Jujur, aku pernah menepis rasa itu dan berdalih dengan kekaguman semata. Namun, kian lama rasa itu makin berkembang saja. Bagaimana bisa aku mengaku tak cinta, sedangkan jantungku kerap kali berdentam-dentam hebat saat menatapnya? Itu dua tahun lalu. Saat aku masih memungkiri perasaan janggal ini, tetapi seiring sejalan dengan waktu yang terus berlalu rasa itu makin terdeteksi saja. Bahkan, sekadar membaca buah pena miliknya aku sudah bahagia, memandang potretnya melalui layar kaca ponsel saja hatiku berbunga-bunga. Bisa bertukar sapa melalui maya pun senang bukan kepalang. Tuhan, ternyata memang telah menjatuh cintakan aku kepada sesosok makhluk ciptaannya yang memiliki keindahan hampir komplit itu.
“Hayoooo, ngelamunin apa?” Suara adikku, Hidan membuyarkan bayangan indahku seketika.
Aku terenyak dan mendongak untuk menatap tubuhnya yang sepuluh senti lebih tinggi dariku.
“Anak kecil, ngagetin aja!” Aku memutar bola mata seraya berdecap, lantas melipat tangan dan menghadap ke arahnya.
Hidan menumpukan bagian pinggir kiri tubuhnya ke dinding, menatapku dengan seringai jahil.
“Nah, kan. Hayo ngaku! Lagi ngayalin couwok, ya ....” Dia menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depanku.
“Auah!” Aku menepis lengannya, lantas berjalan menuju dipan sembari meraih gawai di meja belajar yang kulewati.
Baru saja bokongku terhempas di pembaringan, adik menyebalkan itu buru-buru menghampiri. Aku mengabaikan saja, asyik menuliskan sesuatu di note ponsel pintar.
Dia pun menghempaskan bokongnya di sampingku. “Ngetik apaan sih, Kak? Serius amat!” katanya lagi, seraya mencebikkan bibir dan berusaha mengintip layar gawaiku.
“Apaan, sih, kepo!” Aku meraih bantal dan memukulkan di bahunya.
“Ish, galak banget. Pantesan jomlo!” cibirnya.
Aku membulatkan mata. “Pergi sana! Ganggu tahu!”
“Iya, deh, nggak kepo. Tapi bantuin aku, ya, Kak. Please ....”
Nah, kan! Sudah kuduga, pasti anak itu ada maunya. Aku tergeming sambil terus mengetikkan jari di gawai.
“Ayolah, Kak. Bantuin, ya!” Dia menggerak-gerakan lenganku, “Dengan ngebantu aku, Kakak bakal jadi salah seorang yang berjasa banget dalam pendidikanku, loh!”
Astaga, apa katanya? Berjasa, berjasa! Selalu begitu ucapannya jika ingin meminta bantuan soal pelajaran. Setelah ini, aku tahu apa yang dimintanya. Adikku ini memang cerdas, soal yang berkaitan dengan hitungan dia jagonya. Namun, payah dalam bidang seni dan bahasa, bahkan masih kuingat betul saat dia mendapatkan tugas melukis. Saat itu aku puas sekali mengejeknya. Bagaimana tak lucu? Anak SMP menggambar lingkaran hitam sebesar tutup gelas, kemudian muncul garis meliuk-liuk agak panjang dan bervolume cukup besar. Dia mewarnai garis itu dengan kombinasi hijau dan putih, tahu apa yang dia jawab saat kutanya itu gambar apa?
“Gambar ular hijau yang kepalanya masuk ke lubang,” katanya dengan ekspresi yang tidak tampak bercanda sedikit pun.
Sungguh, saat itu aku puas sekali menertawakannya. Alhasil kubantu dia membuat gambar baru yang setidaknya lebih pantas untuk seukuran anak SMP. Namun, begitu-begitu dia adik yang baik, selalu menjadi matahari yang mencerahkan hari-hariku. Ada saja celoteh dan tingkahnya yang menggelikan, meski dia tak bermaksud melucu, tetapi malah tampak jenaka.
Aku menegakkan kepala, lantas mengalihkan pandangan ke arahnya seraya menaikkan alis dengan sorot mata bertanya.
“Buatin aku puisi buat PR bahasa Indonesia, ya!” pintanya seraya tercengir.
Aku kembali memutar bola mata. “Ini karya, loh! Ada hak ciptanya, tahu!”
“Ya, buat bantuin adeknya masak aku harus nulisin nama kakak, nanti ketahuan guru, dong!”
“Ya, risikonya.”
“Ayolah, Kak!”
“Makanya buat sendiri!”
“Tahu, kan, puisi buatanku kek apa? Bantuin, dong, Kak.” rajuknya.
Ya, aku ingat terakhir kali aku memaksa dia membuat sendiri puisi. Malah seperti susunan kalimat definisi suatu organ dalam buku Biologi. Saat kutanya inspirasinya dari mana, katanya dia habis mengerjakan soal tentang sirkulasi darah. Astaga, sering kali aku dibuat memukulkan telapak tangan ke dahi sendiri. Jika begini, biasanya aku akan langsung membantunya merangkai kata, tapi sekarang malas rasanya lama-lama menuntun dia. Entahlah, emosiku sedang kurang stabil. Baru saja tersenyum-senyum menatap senja. Berubah gondok karena gangguan adikku ini. Sepertinya efek PMS mulai bekerja dalam tubuhku. Mengingat sebentar lagi masa haid tiba.
Aku berpikir lebih baik memberikan puisi yang baru kuketik saja untuk segera mengusirnya dari kamar. Sebab, jika tidak, sampai matahari terbenam dan kembali terbit pun adikku itu akan tetap berada di sini, menguasai kamarku hingga aku harus pindah tempat tidur di ruang tamu. Astaga, membayangkan itu aku jadi menggeleng keras.
Aku segera menyalin puisi dari note ke pesan Whatsapp, lantas mengirimkan ke nomor Hidan.