Aku buru-buru membereskan buku-buku dan peralatan sekolah ke tas ketika bel pulang berbunyi.
“An, gimana tugas kita?” kata Aruni menghentikanku yang hendak keluar.
Aku memandangnya sekilas, lantas beralih pada Wisni untuk meminta penjelasan.
“Tugas kelompok biologi kita yang soal pertumbuhan kecambah itu,” lanjut Aruni lagi.
Aku seketika menepuk jidat sendiri. Kenapa bisa lupa?
“Oh iya, yang bikin laporan sama bahan presentasi, kan?" timpal Wisni.
“Syukurlah kamu ngingetin, Run. Kalo enggak mau presentasiin apa kita besok,” kataku bersyukur.
“Masalahnya, kecambahnya di rumahku. Dan buku catatan pengamatannya gak dibawa, An.”
Saat seperti ini, beruntung sekali otakku mudah diajak bekerja sama. Bohlam seakan tiba-tiba menyala di kepala. Mataku berbinar seraya tersenyum semringah.
“Gimana kalo kita ngerjain di rumahmu, Run?” usulku seraya menjentikkan jari.
‘Sekali dayung dua pulau terlampaui’ begitulah kata peribahasa. Kebetulan Aruni sekampung sama Ferdi, sekalian mengerjakan tugas, pun bisa mulai melancarkan rencanaku mendekatkan Wisni dan cowok itu.
Aruni dan Wisni pun mengangguk. Baru saja Aruni hendak membuka mulut aku sudah lebih dulu bersuara. “Bentar-bentar, aku ke Ferdi dulu.”
Aku pun berlari menuju kelas Ferdi, di sana hanya ada dua orang siswi yang tampaknya sedang menulis sesuatu. Aku pun melangkah terburu-buru menuju tempat parkir, semoga saja sahabatku yang menyebalkan itu masih di sana.
Syukurlah, cowok itu masih mengobrol dengan temannya. Aku pun segera menghampiri.
“Fer, kasih tebengan, ya!” todongku tanpa basa-basi.
Ferdi melongo dan belum sempat menyahut. Hanya siulan beserta celetukkan salah satu temannya yang terdengar.
“Uhuy, ceweknya yang nyamperin, Man! Udah, mau, aja! Atau biar kita yang gantiin lu, Fer?” ucap cowok berjaket merah seraya terkekeh.
Ferdi mengibaskan tangan di udara. “Cemacem, Lu!” timpalnya seraya turut terkekeh.
Aku tahu teman Ferdi itu hanya berkelakar, tetapi itu sungguh tak lucu. Aku malah sebal dibuatnya, lagian sok tahu sekali.
Ferdi akhirnya menyetujui. “Ayo!” katanya seraya menyalakan motor.
“Bukan aku!”
“Terus?”
Aku tak segera menimpali, malah mengetikkan pesan Whatsapp pada seseorang.
“Tunggu bentar!" pintaku sembari memasukkan gawai ke saku.
Dia mematikan kembali mesin motor, menurunkan standard-nya, lantas melipat tangan.
Setelah beberapa menit Wisni dan Aruni tiba.
“Gue ambil dulu motor,” kata Aruni seraya berjalan menuju motornya.