Maju sekarang atau selamanya jadi pecundang!
Ucapan itu seakan masih terngiang jelas di telingaku. Padahal telah berlalu dua tahun lamanya.
Waktu terasa berjalan lebih cepat, hari ini pertama kalinya akan kembali menginjakkan kaki di SMA Laksamana Karya. Setelah libur semester genap nan panjang. Seharusnya aku bahagia, toh akan menyenangkan bertemu lagi dengan teman-teman.
“Kiri Mang,” kataku pada sopir angkot saat tiba di depan sekolah.
Aku turun, mengambil uang dua ribu, lalu memberikan pada sopir. Menyeberang jalan, berhenti sejenak di depan gerbang. Menarik napas, lalu mengembuskan perlahan seraya memperhatikan sejenak tampilan warna baru gedung sekolahku.
Tampaknya kepala sekolah baru yang menggantikan Bapak Darna ini punya selera warna bagus. Dusty green dipadukan cokelat muda. Manis juga, bukan?
Aku meneruskan langkah perlahan sambil membetulkan ransel. Kawan-kawan seangkatan telah bergerombol di depan papan pengumuman. Saking penasaran aku segera menyibak kerumunan dan berusaha mencari celah untuk menggapai baris terdepan. Susah payah menyelinap karena mereka terlalu antusias dan ricuh. Ketika telah berhasil menembus kerumunan, terpampanglah isi kertas yang terdapat urutan nama siswa-siswi yang di atasnya tertulis: Kelas baru hasil pengundian.
Aku meneliti satu persatu kertas itu hingga mendapati namaku di kertas pertama. Yang tertera kelas XII-IPA-1, kulihat lagi tabel itu makin ke bawah. Berharap ada Wisni—chairmate-ku ada di sana. Senyum sedikit mengembang saat doaku terkabul, meski Ferdi—sahabatku, di kelas lain. Tak apa, setidaknya aku masih punya kawan bicara nanti. Sebab, aku tidak terlalu mudah mengakrabkan diri dengan orang baru.
Bel pertanda waktu upacara dimulai berdering nyaring. Membuat seluruh murid berhamburan menuju lapangan. Hingga puluhan menit berlalu, upacara pun selesai. Kami semua kembali menuju kelas masing-masing.
~☆~
Di kelas tak banyak yang dibahas, hanya perkenalan dengan wali kelas yang kemudian berpamitan untuk rapat. Perkenalan ulang seluruh murid di kelas baru. Beberapa di antaranya telah diketahui namanya karena mereka populer. Dan banyak yang lain hanya aku kenali wajahnya.
Sedangkan diriku? Haha ..., yakinlah banyak yang tak kenal, kegiatan ekstrakurikuler saja hanya mengikuti klub majalah dinding Pijar Bintang. Pun jarang muncul ke permukaan, aku hanya berani menulis, mengikutsertakan karya dengan nama pena. Dan ada rahasia kecil yang kuselipkan melalui untaian puisi-puisi itu.
Sementara Wisni, sama kurang dikenalnya. Ia lebih memilih ekstrakurikuler karawitan, sebab kecintaannya pada musik daerah.
~☆~
Jam sepuluh pagi kami telah diizinkan pulang, karena kegiatan belajar belum aktif.
“Hei, balik sekarang?” Ferdi berseru sambil berjalan menghampiri aku dan Wisni.
“Iyalah sekarang, masa tahun depan!” balasku seraya mencebik.
“Biasa aja, Neng. Itu bibirmu!” Ferdi menarik bagian belakan tasku. "Omong-omong ada yang mau gue sampein!" lanjutnya serius.
“Aku duluan ya!” pamit Wisni buru-buru seraya meninggalkanku.
“Ah, iya, Wis. Hati-hati, ya!” Aku melambaikan tangan seraya tersenyum
Wisni tak lagi menimpali ia terus melenggang.
“Perasaan tiap gue deketin kalian, dia kayak was-was gitu. Aneh.” Ferdi menatap punggung Wisni yang terus menjauh.
“Takut kali, Fer.” Aku mengulum senyum dan menyelidik mata sahabatku ini. Jelas sekali Ferdi menyimpan sesuatu.
“Padahal dia cantik, tapi tertutup banget.”
“Cieee, muji-muji temen sebangku aku, nih ....” Pura-pura terbatuk. “Jangan-jangan sebenernya kamu naksir, ya?”
Ferdi hanya menggaruk tengkuk yang sepertinya tak gatal, kemudian cengengesan tak jelas.
“Oya, mau ngomong apaan tadi?”