Lengang, hanya ada beberapa murid yang tampak di lapangan. Angin sore nan dingin berdesir pelan, kemeja cokelat tua yang kukenakan tak mampu menepis hawa dingin yang merayapi kulit. Sepertinya tanda-tanda musim kemarau telah tiba, seakan memperingatkanku untuk memakai jaket setiap hari meski pun langit tampak cerah.
Aku melangkah di koridor kelas XII bersama beberapa kawan Klub mading. Sesekali menatap ke area lapangan, di tepi sebelah Barat tampak Ferdi selonjoran bersama beberapa kawan seekskul-nya. Dia melambaikan tangan padaku seraya tersenyum riang.
“Aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Vina dan yang lainnya, “kalian duluan, aja.”
“Oh, oke deh, An. Bye!” katanya sembari berlalu menuju gerbang.
Aku pun menghampiri Ferdi yang tengah bercanda bersama kawannya.
“Siapa nih, Fer? Cewek, lu?” kata salah seorang teman Ferdi.
Ferdi hanya terkekeh seraya menggeleng. “Namanya Kencana, sohib gue yang tercantik.” Dia mengedipkan sebelah mata.
Apa katanya? Anak itu memang dasar, jelaslah aku disebut begitu, kawan-kawan dekat Ferdi hanya aku yang perempuan.
Aku hanya tersenyum, demi menghargai mereka semata. Rasanya tak biasa buru-buru mengakrabkan diri dengan orang baru.
“Awas, Lu. Kata orang sahabatan beda gender itu suka nggak murni!” celetuk cowok berambut ikal seraya menyikut lengan Ferdi.
Ferdi tergelak. “Sa ae, lo! Emangnya emas murni-murnian segala.” Ferdi balas menoyor lengan temannya, kemudian berdiri seraya meraih ransel navy yang tergeletak dekat pohon.
“Gue duluan, ya!” pamitnya seraya menggenggam tanganku. Bagi kami ini hal biasa, tak ada sedikit pun getaran janggal di dada. Entahlah, sepertinya bagi yang lain memang tak wajar. Namun, aku dan Ferdi sama sekali tak menghiraukan.
Aku turut mengangguk seraya tersenyum.
“Tumben lo balik sore banget, An?” tanya Ferdi saat kami melangkah bersisian.
“Abis rapat buat perencanaan seleksi anggota baru, Fer. Cape aku juga. Tahulah jenuhnya kek mana berada dalem ruangan terus berdebat ini itu memikirkan konsepnya yang kebanyakan beda pendapat.”
Ferdi terkekeh.
Aku menatapnya seraya mengerutkan kening, apa ada yang lucu?
“Lo itu, ya. Kalo sama gue aja, ditanya dikit langsung ngomong panjang lebar. Giliran sama mereka tadi? Ngomong sedikit pun kagak.”
Aku melepas genggamannya, menepuk pundak cowok jangkung itu.
“Yakali, baru kenal udah ngomong panjang lebar, dikira 'SKSD' lagi!”
Lagi-lagi Ferdi terkekeh, membuatku menghentikan langkah dan menggeser posisi berdiri untuk menghadap ke arahnya.
“Lagi seneng, ya? Ketawa mulu perasaan.” Aku memicingkan mata seraya melipat tangan.
Ferdi mencebik seraya mengangkat alis.
“Ah, aku tahu. Pasti efek abis ngebonceng Wisni dua hari lalu, kan? Hayo ngaku!”
Ferdi tersenyum lebar, menampakkan giginya yang bergingsul di kiri. Dia melangkah lebih dulu.
“Lah, kabur lagi!” Aku berusaha mengejar langkah lebarnya untuk menyejajarkan posisi kami.
“Btw apaan sih yang terjadi waktu itu? Kok kalian lama amat?”
“Makasih, ya, Sohibku yang jombs. Gara-gara lo, gue jadi bisa romantisan dorong-dorong motor sama dia,” paparnya seraya terus melangkah dan memasukkan lengan ke saku celana olahraga.
“Dorong motor aja romantis? Astaga cowok apaan, sih. Kalo aku jadi Wisni ogah cape-cape gitu.”
“Ya, itulah. Dia itu beda, makanya gue suka.”
Selera Ferdi ini sepertinya memang unik. Syukurlah jika dia senang, karena dengan begitu aku pun merasa mulai berhasil menjalani profesi baru tak resmi kami sebagai ‘Mak Comblang’. Aku tersenyum sambil menatap wajahnya yang begitu berseri.
Dia menengadah dan menatap langit senja yang ceria.