Saat sengaja dicari sulit didapatkan, giliran tak dinanti malah datang sendiri. Imajinasi memang sulit dimengerti, seperti hatiku? Ah, bisa jadi.
Baru saja aku sedikit lega usai berbaikan dengan Mama, kini memoriku malah merambat pada hal-hal yang sebetulnya enggan diingat. Namun, tak bisa dipungkiri kenangan sepahit apa pun telah jadi bagian dari hidupku. Diinginkan atau tidak, akan tetap ada dan terpatri dalam memori.
Apalagi mengenai salah seorang paling berharga bagi kita, seketika pena dan buku yang kupegang terabaikan. Pikiran seakan membawaku mundur melintas dimensi waktu, kembali ke 5 tahun silam, tepat saat tahun pertama SMP-ku.
Badan Mama merosot hingga membentur lantai. Ia menengadah dan menatap langit-langit rumah seperti orang linglung. Tak ada suara omelannya yang selalu panjang lebar. Sebagaimana ia menegurku atau Hidan saat berbuat salah. Tidak ada wajah merah padam dengan napas tersengal menahan amarah yang membuncah. Yang ada hanya raut resah, ketakutan, putus asa, dan kegamangan di wajahnya. Gawai jadul-nya terhempas bebas seiring tangan yang melunglai.
Aku dan Hidan yang tengah bercengkerama seketika memburu ke arah Mama. Kami bersipandang, tak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku mulai mengira-ngira yang menelepon itulah penyebabnya.
“Ma, apa yang terjadi? Siapa yang nelepon?” tanyaku sambil berusaha membantu Mama untuk berdiri.
Hidan pun turut membantu menuntun Mama tanpa banyak bertanya.
Setelah Mama duduk di kursi, aku berlari mengambil air mineral. “Ma, minum dulu.” Kuraih tangannya, tetapi masih tak direspons. Pikiran Mama entah berkelana ke mana. Hingga aku pun mendekatkan gelas ke bibir beliau.
Seakan disadarkan oleh air yang sedikit menyentuh bibir Mama, ia mengerjap. Menatap sendu padaku, lalu menurut untuk meneguk air.
“Mama, baik-baik aja, kan?” Aku meletakkan gelas, lalu mengusap jemari beliau.
Mama mulai berkaca-kaca, tak ada sepatah pun kata yang terucap. Aku dan Hidan masih menanti jawaban dengan resah.
“Papa kalian,” katanya seiring sebulir bening yang lolos di pipi.
“Papa kenapa, Ma?” Segala pikiran buruk memberondong kepalaku tanpa ampun.
Hidan pun turut betanya, “Ma, ada apa?”
“Papa kalian kecelakaan,” lirih Mama sambil terisak.
Seketika itu, punggungku terhempas ke sandaran kursi. Ingin menampiknya dan berharap itu adalah mimpi.
Hidan yang tengah berdiri pun menatap Mama dengan raut tak percaya. Namun, penjelasan Mama selanjutnya menguatkan. Kecelakaan itu ialah kebenaran.
Demi Tuhan, aku menyesal. Kenapa tak bisa mencegah Papa untuk tidak berangkat kerja hari ini. Bahkan saat Mama terang-terangan melarang dan sekarang firasat Mama yang diabaikan Papa pun terbukti. Bagaimana kalau Papa .... Tuhan, tolong jangan ambil nyawa Papa secepat ini.
Hingga saat kami sampai depan IGD, aku tak sanggup membendung air mata. Segala ketegaran yang mati-matian kutunjukkan demi menguatkan Mama malah menjadi senjata yang menikam ulu hati. Terlebih melihat keadaan Papa amat kritis.