“Gimana, besok jadi, kan?” kata Ferdi saat tiba di dekatku.
Aku yang tengah membeli pisang ijo pun menoleh, sejenak mengernyit saat mencerna arah pertanyaan Ferdi. Hingga aku pun mengerti maksudnya.
“Gak tahu, sih. Belum kutanya, Fer. Nanti, deh, via chat.”
Ferdi berdecap sambil memasukkan tangan ke saku celana. “Mentang-mentang udah ditontonin do’i, saking girang lupa segalanya, ya.”
Seketika senyumku mengembang, memang benar badanku berada di depan panggung, tetapi pikiran tidak. Sedari tadi segala gambaran gerak gerik Kak Dirga seakan terus berputar di kepala.
“Dia udah tahu nama, lo.”
Dia pasti tahu, kan saat akan tampil namaku dipanggil MC. Bagaimana, sih, sahabatku ini.
“Maksud gue, dia tahu lo sebagai pemilik akun @Purnamashika_244.” Dia mengangkat sebelah alis dan seperti menanti reaksiku.
Aku seketika membulatkan mata, bagaimana bisa dia melakukan itu tanpa izin padaku. Yang kumau kami berkenalan sendiri tanpa lebih dulu tahu.
“Kok seenaknya kasih tahu, sih,” kataku sambil membayar jajanan. “Ini, Mang. Makasih, ya.”
“Iya, Neng, sama-sama,” timpal pedagang sambil menerima uang.
Aku melangkah bersisian dengan Ferdi yang masih tak acuh atas protesku.
“Kamu kenapa ngasih tahu kak Dirga tanpa izin?”
Dia mengangkat bahu, lalu berucap, “Dia, kan, cerita soal lo, yang katanya kertasnya dia temuin. Obrolan kami berlanjut abis lo baca puisi, gue pikir mending gue kasih tahu.”
Aku terdiam sambil menatap ujung kaki, langkahku terus mengayun. Entah itu salah atau benar. Namun, entah kenapa ada setitik tidak percaya diri yang mengganggu. Aku takut akan ada yang berubah.
“Dahlah, Cuma nama ini. Lagian bagus, kan, dia tahu lebih awal. Biar jalan cinta menuju hatinya mulus.” Ferdi mengedipkan sebelah mata sambil mengulas senyum. Meski tak semenawan sepupunya, harus diakui senyum sahabatku ini selalu menular. Ceria, bebas, dan lepas. Seperti tanpa beban, kadang aku berpikir ingin bisa menjadi dirinya. Tampak seperti tak pernah punya masalah.
“Woooy!” teriak Ferdi di telingaku.
“Sakit, Jaja!” Selalu kupanggil begitu saat aku telah kepalang kesal padanya. Jaja kuambil dari ujung suku kata nama lengkapnya, Ferdi Atmaja.
“Abis bengong aja. Berkali-kali gue panggil gak nyaut. Dasar tiang listrik!”
Ekspresiku berubah seketika, aku paling tidak suka disebut seperti itu. Tiang listrik adalah landihan atau sebutan dalam bahasa sunda berarti analogi dari tubuh tinggi. Meski memang badanku terbilang di atas rata-rata dari teman sebayaku, tetapi tetap tak suka. Aku mempercepat langkah, mendahuluinya menuju gerbang.
Tarikan di tali selempang menghentikan langkahku, Ferdi tampak menyadari kesalahannya.