Suasana GOR Futsal mulai riuh kembali seiring peluit wasit yang kembali melengking. Namun, percayalah di dadaku lebih gaduh, berkali-kali kusembunyikan tangan di balik tas dalam pangkuan. Khawatir getar-getar janggal itu merambat ke sana, lalu tertangkap netra Kak Dirga. Tuhan, aku ingin tetapi enggan. Ingin berbincang panjang lebar, tetapi enggan memulai percakapan. Gengsi lebih dominan membentengi hati.
“Purnamashika ...,” panggil Kak Dirga.
Deg!
Dia memanggil nama penaku. Aku masih meluruskan pandangan.
“Nama pena kamu, kan?” lanjutnya sambil menoleh padaku.
“Em, iya, Kak.” Aku pun menoleh sambil tersenyum canggung.
Dia terkekeh, lalu mengarahkan tatapan ke lapangan. Entah apa makna tawanya barusan, tetapi sungguh itu membuat serangan pertanyaan bermunculan.
“Pantesan, pas depan perpustakaan itu, kamu bengong kayak pengin nyampein sesuatu,” katanya tanpa mengalihkan pandangan, “ternyata kita udah sering berinteraksi di dunia maya.”
Aku tak berkomentar, hanya menyunggingkan senyum. Andai dia tahu apa yang kurasakan saat itu, ah lebih baik jangan.
“Pas baca puisi di kertas yang kemarin itu. Aku kayak kenal banget gaya tulisannya.” Dia mengambil ponsel dari saku celananya, “Sebenernya waktu temanku manggil itu, pas mau mastiin ke IG kamu, ini kan?” Dia menunjukkan layar ponselnya yang menampakkan profil Instagramku.
“Kalo kakak udah tahu, aku yang malu duluan.” Akhirnya kuberanikan membuka suara, enggan seakan terlihat kurang antusias dengan percakapan ini.
“Ngapain malu, kalemlah. Oya, puisi sama cara pembacaannya bagus, loh. Aku berasa gak nyangka aja, ternyata orang di balik akun itu adik kelasku sendiri.”
“Tapi aku udah tahu Kak Dirga sejak Kakak masih siswa SMA Laksamana Tirta.”
“Yaampun, maaf ya. Aku gak merhatiin hal-hal sedetail itu, asli.” Dia mengatupkan tangan.
“By the way, sejak kapan kamu suka nulis puisi?”
Sejak mengenal kak Dirga.
Mana mungkin kusebutkan jawaban sebenarnya, kan? Aku meremas jemari. Berpura-pura fokus ke lapangan.
“Purnama?”
Kenapa dia suka memanggilku seperti itu, hm. Dia, kan, sudah tahu nama asliku. Ada sedikit kesal yang sulit disangkal.
“Sejak suatu hari, hari yang gak bisa aku lupain.”
Dia tersenyum, lagi-lagi senyuman itu yang membuat netraku tertawan. Sadar Kencana, jangan ulangi kebodohan hari kemarin. Aku mengerjap, lalu balas tersenyum.
“Ada berita apa hari itu, Den Sastro?”