Aku pun menumpukan telapak tangan di atas tangan mereka, disusul Wisni yang memang sedari tadi tampak seperti menanti keputusanku.
“Oke, Ready?” Ferdi lagi-lagi menyapukan tatapan pada kami bertiga.
Kami pun mengangguk hampir bersamaan.
“Truth Or Poetry, lets playing together!” ajak Ferdi bersemangat sambil mengentakkan tumpukan tangan kami ke udara.
“Rules-nya. Siapa yang kebagian muter pulpen pertama kali kita suit dulu. Terus yang ditunjuk tutup pulpen ini, berarti dia harus memilih antara Truth Or Poetry. Setelahnya dia harus jawab jujur atau nurutin bikin puisi sesuai yang diminta pemutar pulpen. Sampai di sini paham?”
“Laga kamu kaya guru aja, Fer.” Aku menyindir, tetapi bukankah benar ya harus dijelaskan rules-nya. Dasar aku, jadi sentimen begini.
“Eh kan gue lagi jelasin, Kencana! Gimana, sih.”
Kak Dirga melerai, “Udah jangan berantem! Kalian ini ternyata kayak Tom dan Jerry, ya. Mending kita lanjut suit.”
“Tuh dengerin!” Ferdi mendelik.
Aku balas mencebik, besar kepala dia jadinya, huh menyebalkan sekali.
“Udah, An. Kamu gak takut gebetanmu ilfeel?” bisik Wisni padaku.
Benar juga kata Wisni, aku jangan terlalu frontal. Jaga image dikit bisalah, ya.
Lalu kami berempat segera suit dengan hompimpa. Hasilnya Kak Dirga jadi pemutar pertama, Ferdi kedua, lalu Wisni ketiga, dan terakhir aku. Argh, kenapa aku yang terakhir, sih? Tapi tidak apa-apa juga. Barang kali dapat keberuntungan, kan?
Kak Dirga mengambil pulpen, lalu memutarnya. “Kita mulai, ya?” Dia menggerakkan jemari, memutar pulpen dengan cepat.
Pulpen terus berputar-putar, hingga mengarah pada Ferdi.
“Yang pertama tuan rumah ternyata,” kata Kak Dirga.
Ferdi menepuk jidat, tampak berpura-pura terkejut. “Gue pilih truth.” Dia mengubah posisi duduk, menghadap pada sepupunya.
Sementara aku asyik mengunyah camilan, makanan manis dan pedas memang favoritku.
Wisni tampak termangu, dengan bertelekan pada bantal di pangkuannya.
Kak Dirga tersenyum semringah, seperti tampak berpikir, lalu memetik jari. “Ada gak cewek yang Lo taksir, kalo ada siapa?”
Nah, tadinya aku yang mau menjebaknya dengan pertanyaan itu. Namun, ternyata telah terwakili.
“Ayo, jawab!” Aku terkekeh sambil mencomot camilan lagi.
Ferdi malah tertawa lebar, ah, aku lupa pertanyaan seperti itu mah dia jadikan kesempatan.
“Ada, namanya ....” Ferdi mengarahkan tatapan pada Wisni. “Aryanti,” imbuhnya.
“Woah, jentle, Bro! Kenalin, dong.”
Aku mengulum senyum, Kak Dirga tidak tahu saja. Orang yang dimaksud Ferdi ada di hadapannya, Aryanti tak lain adalah nama lengkap Wisni. Sementara si pemilik nama tampak menunduk, aku sulit menerka makna ekspresinya. Namun, bisa kuduga seperti ada rasa malu berbaur di sana.
“Udah, lanjutlah, aku gak sabar pengin makan cilok, nih.” Aku mengambil pulpen, lalu menyodorkan ke Ferdi. Bermaksud menyelamatkan Wisni dari pembahasan lanjut mengenai dirinya, aku takut dia semakin tak nyaman. Sebab membujuknya untuk datang le sini saja susah minta ampun, salah-salah sia-sia usahaku nanti.