Lengkungan di bibirku menyusut seketika. “Ngeraguin aku, ya! Awas aja kalo nagih sama cilok buatanku, nanti!” Aku membuang pandang sambil meraih kantong keresek di meja, lalu berjalan menuju dapur.
Seenaknya saja dia bicara, kusambar tangan Wisni dan menariknya sambil terus berjalan. Wisni yang agak terenyak untungnya tidak protes sama sekali. Dia mengekoriku hingga tiba di dapur. Namun, saat hendak membuat adonan, seketika menepuk jidat.
“Bodohnya, Kencana!” gumamku sambil menghela napas.
Aku lupa sedang berada di rumah orang, mana aku tahu letak penyimpanan peralatan masak dan bumbu-bumbunya. Wisni menatapku dengan sorot penuh tanya sambil mengucapkan sepatah kata dengan gerakan bibir tanpa suara. “Bentar, ya,” kataku pada Wisni sambil meletakkan keresek di pantry.
Aku berbalik melangkah menuju ruang tamu, baru saja sampai di ambang pintu sayup-sayup terdengar suara Ferdi.
“Btw menurut Lo gimana?” tanya Ferdi pada Kak Dirga sambil mengunyah camilan.
Aku seketika menghentikan langkah, lalu mundur dan bergeser ke samping untuk menyembunyikan badan di balik nakas. Persis di samping pintu yang mengarah ke tempat mereka.
“Maksudnya?” Suara Kak Dirga terdengar menimpali.
“Itu loh, si Kencana.”
“Oh, Purnama. Kan udah gue bilang bagus. Dia mah udah sering kali bikin puisi.”
Dari tempatku berdiri, berusaha mengintip dengan mencondongkan kepala. Ferdi terlihat mencondongkan tubuh.
“Maksud gue, orangnya, Dirga!”
“Weis, santuy, Men!” Kak Dirga terkekeh sambil menepuk bahu sepupunya.
“Dia tuh ....”
Perkataan Kak Dirga terjeda pekikanku karena terkaget oleh sentuhan Wisni di bahuku.
Ferdi dan Kak Dirga menoleh ke arah kami bersamaan. Sial, harus di mana kusimpan muka, tertangkap basa menguping seperti ini seperti ketahuan mencuri mangga tetangga. Ya, meski pun aku tidak pernah berlaku seperti itu juga.
Aku memelotot pada Wisni, kenapa sih dia muncul tiba-tiba dan mengagetkan seperti itu.
“Maaf, aku gak maksud,” katanya sambil mengatupkan tangan.
“Lah katanya mau bikin cilok?” Kak Dirga yang bertanya.
Sementara Ferdi mencebik sambil mengangkat sebelah alis. Tatapannya lebih seperti ejekan.
“Anu, itu aku gak tahu di mana nyimpen peralatan sama bumbunya.” Jemariku bergerak-gerak di tengkuk yang tak gatal.
Ferdi terkikik sambil beranjak dan menjawab, “Makanya jangan sotoy!” Dia berjalan hingga sampai di dekatku, “sini gue tunjukin,” lanjutnya sambil mengisyaratkan dengan gerakan tangan supaya aku mengekorinya.
Wisni dan Kak Dirga pun mengikuti kami.
Sesampainya di dapur, Ferdi segera membuka lemari penyimpanan yang menempel ke dinding tepat di atas pantry. Diraihnya peralatan yang dibutuhkan. “Ini baskom sama pancinya,” katanya sambil menyodorkan benda itu.
Aku pun meraihnya, lalu meletakkan di atas kompor.
Ferdi beralih lagi membuka lemari penyimpanan lain, “Ini rempah bubuk sama spatula dan sinduk-nya.” Dia meletakkan di atas pantry, “Bahan lainnya Lo ambil di sana,” telunjuknya mengarah ke kulkas, “tahu kan apa aja yang dibutuhin,” ungkapnya sambil mengambil air dan menuangkan ke panci.
Wisni segera menghampiriku, membantu mengambil kelengkapan bahan-bahan.
Sementara kak Dirga menyandarkan punggung di dinding, sambil mengumbar senyum menyaksikan pergerakan kami.
Setelahnya Ferdi tampak mulai mengeluarkan tepung tapioka ke baskom. Sementara aku segera meraih pisau dan talenan, lalu mengiris daun bawang tanpa diminta. Jangan sampai Ferdi punya kesempatan untuk mengejekku lagi.
Wisni pun membantuku menyiapkan bumbu, selintas kulirik gerak tangkas dan cekatan Ferdi yang seperti sudah mahir bercengkerama dengan peralatan masak. Tak pernah kusangka ternyata cowok menyebalkan itu pandai juga membikin camilan.