Sejenak hening, hanya deruman knalpot kendaraan yang berlalu lalang dan nyiur angin yang terdengar. Aku menjatuhkan tatapan pada buku yang kuletakkan di pangkuan. Menimbang apakah pantas aku menanyakan hal itu pada Kak Dirga?
“Purnama? Katanya mau nanya, kok diem aja?” Kak dirga meningkatkan volume suara, sambil terus melajukan kuda besinya.
Aku pun menoleh ke arah dia, bisa kulihat lirikannya melalui spion. “Em, sebelumnya maaf kalo aku terlalu ikut campur atau terkesan kepo.” Aku kembali membuang pandang, ragu meneruskan.
“Yaudah tanya dulu aja, kalau perlu aku jawab pasti dijawab. Kalo nggak, ya, kamu harus ngerti.”
Baiklah, kak Dirga sudah menyiratkan wanti-wanti supaya aku memaklumi jika hal itu mungkin privasinya. Namun, aku harus tetap bertanya, tak akan tenang jika terus dilingkupi penasaran seperti ini. Lagian Ferdi tak bisa diajak kompromi soal hal ini, sudahlah apa pun risikonya nanti akan kutanggung.
“Apa Tante Mira sedang sakit berat?”
Sedetik, dua detik, hingga detik-detik selanjutnya masih hening. Aku mulai merasa tak enak hati, jangan-jangan Kak Dirga memang tak menyukai ada orang yang membahas ibunya. Aku buru-buru menambahkan, “Kalo menurut Kakak ini privasi banget, gak papa, kok. Aku paham.”
“Nggak, kok,” terdengar helaan napasnya, “lagian kamu udah liat, kan, kondisi ibu. Dia emang sakit berat.” Suaranya parau, ada terdengar getaran getir berbaur di sana.
Mendengar jawaban Kak Dirga seolah menegaskan untuk mencegahku terlalu jauh bertanya. Sekaligus tanpa sengaja meyakinkan bahwa maksud dari puisinya yang membuatku bertanya-tanya waktu itu ialah tentang ibunya. Meski belum tahu penyakit apa yang diderita Tante Mira, tak apa. Rasanya sudah cukup, hanya sebatas ini yang dibutuhkan. Aku tak mau juga terkesan terlalu ingin tahu urusan orang lain.
“Btw buku ini boleh kupinjem berapa lama, nih?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Seberesnya kamu baca aja.”
“Kukira ada batas waktu kaya perpus sekolah gitu, nanti ada dendanya lagi kalo telat. Plush diceramahin kultum kedisiplinan.”
Dia terdengar terkekeh ringan. “Aku bukan Ibu penjaga perpus, ya.”
Aku pun turut terkekeh, entahlah bagaimana bisa aku mulai selancar ini berbicara dengannya. Meski memang degup jantung masih belum terkendali, tapi tek-tok percakapan kami mulai mengalir. Mungkin perlahan aku mulai bisa merelaks-kan otot wajah dan mengendalikan pita suara saat di dekatnya.
“Ketahuan, deh, anak perpusnya.”
“Emang, kalo hobi baca ya, gimana lagi. Apalagi zaman sekolah, boro-boro mikir beli buku, kan?”
“Bener itu. Soale ngerasain hal yang sama.”
“Nah, kan.” Suara Kak Dirga sudah mulai terdengar netral kembali, syukurlah.
Selanjutnya obrolan-obrolan ringan seputar ibu penjaga perpustakaan SMA Laksamana Tirta terus berlanjut hingga merambat pada penjaga sekolah, para satpam, dan Ibu Kantin.
Hingga Kak Dirga menghentikan motornya di gang menuju rumahku. Ini kali kedua aku diantarnya pulang, dia telah tahu tempatku berhenti.
Aku pun segera turun, lalu berterima kasih padanya. Setelah dia memutar balik motor dan berpamitan, barulah aku berjalan menyusuri gang yang hanya muat sebuah motor dan pejalan kaki saja. Meski masih agak jauh, pulang-pergi ke sekolah naik angkot setiap hari membuatku terbiasa berjalan dari sini menuju rumah.