My Beloved Best Friend

Karang Bala
Chapter #17

Chapter 17 | TOP

Tasikmalaya Oktober Festival, agenda event tahunan yang selalu diadakan untuk memperingati hari jadi kotaku yang jatuh pada tanggal 17 Oktober. Meski sering kali mengulang momen itu di tahun-tahun sebelumnya, tetapi aku tak pernah bosan dan selalu ingin mengunjunginya. Sebab setiap tahun konsepnya pasti selalu berbeda, tentunya lebih baik dan keren. Festival itu bahkan sudah dimulai sejak tiga hari lalu, dan sekarang tanggal 16 berarti tinggal sehari lagi akan berakhir. Aku sungguh tak ingin kehilangan kesempatan ini.

Namun, sekarang aku bingung akan pergi dengan siapa. Setelah tadi pagi ajakanku ditolak Wisni karena dia harus menjaga keponakan untuk menggantikan ibunya yang ada acara keluarga di luar kota. Sementara kakak perempuannya bekerja.

Sebenarnya bisa saja aku mengajak beberapa kawan klub mading, tetapi bukannya menikmati malah repot dengan dokumentasi untuk artikel atau wawancara pengunjung nanti. Ah, malas sekali. Ketua mading itu selalu saja tak tahu waktu kalau sudah ada ide. Hingga aku pun akhirnya memutuskan mengajak Ferdi, semoga saja dia sudah bangun dan tidak ada agenda apa pun.

Secepat kilat kugerakkan jari untuk mengirim pesan ajakan. Semenit, dua menit, tiga menit, hingga menit-menit berikutnya tak jua berbalas. Sampai aku menanti sambil mengunggah feed di Instagram mading Fizar Bintang, lalu beralih ke akun pribadiku. Hingga tandas semua masih belum juga dibalas, dan aku mengirim ulang pesan yang sama. Sepertinya dia memang belum bangun, menyebalkan sekali, sih.

Aku menggeliat malas sambil menggerutu, tetapi sedetik kemudian bunyi notifikasi unggahan baru dari akun Kak Dirga membuat mataku berbinar. Ya, saking fanatiknya aku sampai mengaktifkan pemberitahuan khusus untuk akun cowok itu. Aku tak ingin terlewat satu pun posting-annya, bahkan saat kehabisan kuota pun aku rela memaksa untuk meminta tathering data seluler pada adikku. Entahlah, pokoknya tentang dia penting bagiku, sangat-sangat penting.

Lagi, sebuah puisi terukir di caption sebuah foto, tetapi kali ini bernada bahagia dengan nuansa gambar malam berbintang. Dari sekian feed, dia memang sering kali mengunggah gambar bertema malam, apa dia penyuka malam, bintang, bulan, atau kegelapan? Semua kemungkinan itu bisa jadi salah satunya, bukan?

Aku pun segera menyukai  tanpa berkomentar. Malah kubagikan, karena jujur saja puisi itu relatable sekali dengan perasaanku sekarang. Entahlah, untuk siapa dia menulisnya, tetapi suatu saat kelak aku berharap ada goresan pena cowok puitis itu yang tersirat tentang diriku di dalamnya. Ah, mimpiku terlampau tinggi hingga tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. Perasaan dan harapan memang sering kali datang tanpa diundang, bukan? Sudahlah, jadi wajar saja jika aku pun demikian.

“Kencana, ayo mandi, setelahnya bantu Mama bersih-bersih rumah, ya, Nak,” teriak Mama dari tempat jemuran yang terletak tepat di pekarangan samping kamarku sambil meletakkan satu per satu pakaian di sana.

Kan, karena terhanyut dengan angan-anganku sampai lupa bahwa Minggu pagi jadwal meringankan pekerjaan rumah Mama.

“Iya, Ma. Bentar, Kencana mandi dulu,” sahutku sambil melesat menuju stopkontak untuk mengecas gawai, lalu menyambar handuk dan menuju kamar mandi.

~☆~

Jam sepuluh pagi, akhirnya pesan balasan dari Ferdi pun datang.

Ferdi: Hayu, gaskeunlah! Gue OTW, lo buruan siap-siap!

Saat membacanya senang bercampur kesal. Bagaimana tidak, aku yang menunggu dan sekarang dirinya juga yang menyuruhku buru-buru. Jika saja aku tak benar-benar ingin pergi ke sana, mana mau aku diatur-atur begini.

Untunglah aku telah selesai membantu Mama, badan wangi, sudah sarapan pula. Tinggal membetulkan tatanan rambut, ganti pakaian, lalu berangkat. Ah, tidak ditata juga, sih, sebenarnya hanya menyisir sekilas dan mengikat asal. Setelah mematut diri dicermin dengan celana jeans putih dipadukan blouse pendek navy dan bolero berwarna senada dengan tone warna lebih cerah, aku menyambar mini slingbag dan memasukkan sejumlah uang tabunganku beserta gawai.

Aku buru-buru mengenakan sepatu kets dan berpamitan pada Mama. Syukurlah beliau mengerti dan memperbolehkan pergi, meski sempat tanya-tanya soal tempat tujuan dan bareng siapa saja. Usai mengucap salam, aku berjalan cepat di gang yang mengarah ke jalan raya. Sesampainya di sana aku menunggu cukup lama. Berkali-kali kulihat jam digital di gawai tak juga datang. Kebiasaan, kan, dia yang minta buru-buru dia yang ngaret juga.

Namun, setelah puluhan menit menyebalkan dalam penantian. Aku terkejut saat mendapati Ferdi tidak sendirian. Ia diekori seseorang di belakangnya. Motor Kak Dirga melaju perlahan. Kenapa Ferdi enggak kasih tahu, sih. Kalo tahu cowok dambaanku ikut, kan, aku bakal memilih baju yang lebih pantas dan berdandan sedikit. Bukan penampilan simple nan polos macam ini.

Sekejap aku mengerjap-ngerjap, ini bukan khayalan saja, kan?

“Woy! Hayu, naik!” ajak Ferdi sambil membunyikan klakson.

Aku terenyak, ternyata ini fakta dan mereka jelas di depan mata. Kak Dirga tampak mengulum senyum. Astaga aku kedapatan berlagak bodoh lagi. Seperti pertemuan kami depan perpustakaan pada hari HUT RI itu. Aku pun balas tersenyum canggung sambil mendekat ke motor Ferdi.

“Nih,” katanya menyodorkan helm.

Lihat selengkapnya