Karena penasaran, aku pun segera menghampirinya. Saat tiba di sana aku mengikuti telunjuk Ferdi yang mengarah ke banner bertuliskan Festival Bakso Mambo Kuliner. Aku tersenyum lebar lalu mendahului berjalan ke sana.
“Udah gue duga, soal makanan aja ijo, kan, mata lo.” Dia tergelak. Begitu pun denganku yang nyengir ke arahnya.
Aduh, aku lupa harus jaga image, kan ada Kak Dirga. Oke, aku harus berlagak sewajar mungkin. Kulirik sekilas ke belakang, kedua cowok itu tampak berbincang yang entah apa sambil berjalan ke arahku. Alih-alih menunggu, aku malah terus berjalan. Memperhatikan setiap stand-stand yang menjual aneka bakso. Mulai bakso solo, bakso malang, bakso lembut, bakso urat, dan banyak lagi jenis bakso lainnya. Jika saja perutku selentur karet dalam artian sesungguhnya akan kucoba satu-persatu. Nyatanya tidak begitu, paling-paling cuma muat seporsi, selain itu budget-ku pun tidak memadai.
Puas menjelajahi area itu tanpa membeli, aku segera mengarahkan langkah menuju pusat Festival yang terletak dekat Mesjid Agung dan taman kota. Hingga Ferdi yang sedari tadi berjalan di belakangku berbicara, “Gue kira mau beli, eh liat-liat doang.” Tatapan sebal kembali terlukis di wajahnya.
“Udah, mungkin pengin puas-puasin dulu jalan-jalan kali,” bela Kak Dirga.
Aku tak menimpali dan malah mencebik, lalu melayangkan pandangan berterima kasih kepada Kak Dirga. Setelahnya kembali melenggang sambil menjepretkan kamera gawai saat menemui spot menarik.
“Keren,” pujiku saat tiba di depan hamparan pohon-pohon berbatang anyaman bambu menyerupai tembikar raksasa berdaunkan payung-payung geulis putih bercorak bebungaan dengan gradasi warna yang begitu serasi sebagai ikon utama festival kota tahun ini dan menarik perhatian pengunjung layaknya magnet yang berdaya tarik kuat dengan benda logam. Lautan manusia berdesakkan di sana, berebut untuk mendapatkan posisi terbaik dan mengabadikan momen itu.
Ada juga tas tiruan raksasa dan beberapa bentuk lain yang tak kalah menyedot perhatian masa untuk dijadikan spot foto.
Aku memotret ikon itu, lalu berjalan-jalan di bawah pohon-pohon payung geulis itu. Menatap kagum dan ingin segera berpose di dekatnya.
“Estetik banget,” kata Kak Dirga sambil melihat-lihat dan menyentuh sebuah pohon yang tergantung lampion-lampion yang terbuat dari anyaman bambu juga. “Segalanya serba tradisional, keren parah.”
“Pantesan ini anak ngebet pengin ke sini,” tambah Ferdi sambil menyikut lenganku, “Lo udah liat di postingan orang-orang, kan? Terus pengin liat langsung.”
Tepat sekali, aku memang ingin menyaksikan langsung. “Gak ke TOF, nggak Nasik, dong!” timpalku asal.
“Paham-paham.” Ferdi mengangguk-angguk.
“Iya, lah. Kalo semboyan orang-orang, mah. ‘Jangan ngaku orang Tasikmalaya kalo belum ke TOF’ alias Tasikmalaya Oktober Festival, kan,” tambah Kak Dirga menoleh sekilas ke arah kami.
“Nah, kan. Betul itu.” Aku menyetujui.
“Kayaknya ini kalo malem nyala juga, ya. Di dalemnya ada lampu, tuh.” Telunjuk Kak Dirga mengarah ke dalam lampion-lampion anyaman bambu itu.