“Ngapain kita ke sini? Aku, kan, minta pulang!” kataku saat kuda besi Ferdi memasuki Mall terbesar di kotaku.
Dia masih tak menimpali hingga kami sampai di area parkir, dia menstandarkan dan mengunci leher motornya. Segera melepas helm dan turun dari kendaraan.
Aku pun melepas pelindung kepala itu, lalu memberikan padanya dan merapikan anak rambut yang agak berantakan.
Setelah menyimpan helm, Ferdi kembali menggenggam tanganku untuk melangkah bersamanya. Kaki kami mengarah ke lantai dasar, saat tiba dekat MCD dia membeli 2 Sundae Chocolate, lalu menyerahkan satu padaku. “Nih, makan! Ice cream bagus buat naikin mood.”
Aku tertegun sejenak, dia benar-benar peka. Jauh berbeda dengan sepupunya.
“Udah, ambil! Gratis, kok, khusus buat yang lagi galau bin kesel, bin—” Ucapanna terpotong gerakan tanganku yang membekap mulutnya sambil melotot.
Aku meraih ice cream darinya, lalu melahap sesendok dengan rakus sambil berlalu.
Dia terkekeh mendapati reaksiku sambil menyusul untuk menyejajarkan langkah, lalu kami naik eskalator bersisian. Sejenak kuperhatikan sekeliling yang agak lengang. Bagaimana tidak Festival lebih banyak menyedot masa, bahkan yang biasa menongkrong di Mall saja teralihkan.
Tidak ada yang bicara sepatah kata pun, hanya lagu pop lembut yang terdengar. Hingga kami tiba di depan wahana game.
“Mau ke sana?” tawar Ferdi sambil menyikut lenganku.
Aku menggeleng sambil berjalan menuju kursi stanless panjang yang terletak di sekitar sana, lalu mendudukinya.
Dia pun turut duduk tanpa berbicara, seolah memberi ruang padaku untuk menenangkan diri.
Aku terus melahap Sundae-ku hingga habis separuh. Musik terus mengalun membuat betah berlama-lama berdiam diri.
“Lo, tahu kenapa musik di Mall bikin betah?” Ferdi memulai obrolan.
Aku pun menoleh, merasa tertarik dengan percakapan yang dilontarkan. “Kenapa emangnya?”
“Berdasarkan artikel yang gue baca, musik-musik ini nggak sembarangan diputer. Ada alasan kuat di baliknya.” Dia menjeda ucapannya untuk menyuapkan sesendok ice cream lagi.