My Beloved Best Friend

Karang Bala
Chapter #30

Chapter 30 | Nyaris

Aku terus berpikir mencari celah, tatapanku jatuh pada kakinya yang hanya menggunakan sandal gunung. Sekuat tenaga kuinjak, lalu menendang tulang keringnya dan menghantamkan lutut ke bawah perutnya sambil terisak dan berteriak, “TOLOOONG! TOLOOONG!”

Tuhan, tolonglah aku. Kirimkan siapa pun untuk membebaskanku dari dia. Air mata tak lagi terbendung seiring degup jantung terus bertalu. Saat dia meringis dan kuncian tangannya mengendur, lekas kudorong tubuhnya dengan sisa-sisa tenaga yang kukerahkan.

Pernah dengar rasa takut menjadi pemicu paling akut hingga seseorang bertindak di luar batas kemampuannya? Itulah yang sepertinya terjadi pada diriku sekarang. Entah bagaimana keberanian itu menyambangi jiwaku tiba-tiba.

Aku melesat menuju pintu sembari menyeka air mata kasar, berusaha mendorong tumpukan meja yang menahan pintu seraya melihat cowok berengsek itu sesekali. Takut dia kembali mengejarku, dan benar dia tertatih-tatih mendekat ke arahku.

Kenapa tumpukan meja ini berat sekali, sih. Tuhan, apalagi yang harus kulakukan. Aku panik, sangat-sangat panik. Hanya mondar-mandir di tempatku hingga tatapan jatuh ke kursi. Samar-samar terdengar gebrakan pintu dibuka paksa dari luar berkali-kali dan umpatan seseorang.

“Siapa pun di luar, tolong! Tolong!” teriakku lagi sambil terpayah-payah mengangkat kursi. “Selangkah lagi Lo maju, gue lemparin kursi ini!” Napasku memburu dadaku semakin sakit.

Namun, detik berikutnya denting beling jendela kelas dipecahkan seiring batu besar yang terlempar mengalihkan perhatianku. Begitu juga cowok berengsek itu yang semakin tersulut emosi.

“Ferdi ....” lirihku dengan air mata yang semakin menderas, kursi pun kuhempaskan hingga berdebum menghunjam lantai.

“BERENGSEEEK!” teriak Ferdi sambil masuk melalui jendela yang telah tidak berkaca itu. Sekilas terlihat memar-memar di wajahnya. Apa sebelumnya dia habis berkelahi juga? Pikiranku langsung terbersit pada teman-teman Rizman yang tadi.

Ferdi melompat di atas meja-meja, lalu melempar kursi hampir mengenai Rizman jika tak sempat berkilah. Secepat kilat merangsek ke arah lawannya, lalu menghantamkan tinjunya ke rahang cowok songong itu bertubi-tubi. Rizman balas meninju, tetapi sigap ditangkap Ferdi dan dipelintirkan ke punggung si vokalis band itu. Setelahnya, Ferdi memiting leher Rizman kuat-kuat, giginya bergemeletuk dengan api amarah yang membuncah.

Aku sesenggukan di sudut ruangan dekat pintu menyaksikan perkelahian itu. Ada rasa takut yang semakin menjalari hati, bagaimana kalau terjadi apa-apa pada mereka. Aku terus berteriak-teriak, “Tolooong! Tolong pisahkan mereka! Tolooong ....”

Ferdi semakin membabi buta. Hingga tak lama kemudian, satpam dan petugas kebersihan sekolah melompat bergantian melalui jendela yang sama. Disusul salah seorang siswa yang tak kukenal namanya, tetapi wajahnya tak asing.

“Ada apa ini!” teriak pak Satpam, tubuh tinggi besarnya melesat memisahkan Rizman dan Ferdi. Dibantu petugas kebersihan sekolah dan seorang siswa tadi.

Pak satpam memegang tubuh Rizman yang berontak masih hendak melawan Ferdi keras-keras. “Diam kamu!” bentak Pak satpam lagi.

Sementara petugas kebersihan memegangi Ferdi yang juga masih dikuasai amarah.

“Kakak nggak papa?” tanya seorang siswa yang selintas kulirik nametag-nya bertuliskan Fazrul itu menghampiriku sambil membantu berdiri dan menuntunku menuju kursi. “Tenang, ya, aku pindahin dulu mejanya.” Dia pun lekas mendorong meja pelan-pelan hingga bergeser, setelahnya pintu pun berhasil dibuka.

Pak Satpam dan petugas kebersihan sekolah segera menyeret Rizman dan Ferdi keluar.

Lihat selengkapnya