Seolah mengerti yang kupikirkan, Pak Gani berucap lagi. “Jangan takut, Kencana. Ceritakanlah, ini demi kebaikan kamu juga. Bapak tahu kamu siswi baik.”
Aku pun perlahan menghela napas, kemudian menceritakan kronologis kejadiannya. Hingga sampai pada saat Ferdi memecahkan kaca, aku tak sanggup lagi menahan air mata. Sakit itu menyerang lagi tatkala menyorot balik kejadian nahas itu dalam benakku. Bayangannya membuatku ketakutan, sangat ketakutan.
Bu Rosi yang sudah berhasil menyadarkan dua siswa yang pingsan segera menghampiriku, lalu duduk dan meraih bahuku sembari diusap-usapnya.
“Tenanglah, An. Percaya sama ibu, semuanya akan baik-baik saja.”
“Tapi saya malu, Bu. Bagaimana kalau semua murid SMA tahu. Saya takut dihakimi mereka, Bu,” lirihku sambil menatap beliau.
Namun, beliau menatapku penuh kelembutan dan pancaran keyakinan. “Percaya sama ibu, kamu nggak salah, an. Di sini kamu korban.”
Kemudian Pak Gani beralih kepada Pak Satpam dan petugas kebersihan sekolah dan memintai keterangan dari mereka. Kedua pria itu pun memberikan kesaksiannya sesuai yang mereka lihat saat datang ke kelas.
Pak Gani beralih lagi pada Fazrul. “Lalu Fazrul, sedang apa kamu di sekolah padahal kegiatan sudah selesai, anak OSIS juga setahu saya sudah bubar, kan?”
“Saya ketinggalan kunci motor, Pak. Abis ngambilnya dari kelas, Kak Ferdi manggil saya dan mendengar teriakkan-teriakkan dari kelas XII IPA1. Saya pun segera memanggilkan satpam, tapi satpamnya sedang di kamar mandi. Itu yang membuat saya lumayan lama kembali.”
Pak Gani pun mangut-mangut, lalu berjalan menuju komputer yang tersambung ke CCTV. “Kemari, Pak!” katanya sambil menatap Pak Satpam.
Sang satpam pun menghampiri beliau, kemudian memeriksa tayangan ulang hasil rekaman CCTV itu. Mereka tampak menyimpulkan sesuatu, tetapi entah apa. Hingga setelah sekian masa terlewati mereka pun kembali.
“Rizman,” panggil Pak Gani sekembalinya dia di hadapan kami, “Kenapa kamu melakukan itu semua? Kamu tahu tindakan kamu kali ini di luar batas, kamu sudah hampir melakukan tindak asusila berencana.”
“Nggak bisa gitu, dong, Pak. Kami awalnya melakukannya suka sama suka, kok. Hubungan kami juga baik, dia aja yang ketakutan pas saya nggak bisa kontrol diri dan ngelakuin hal lebih.”
“Brengsek, Lo! Malah muter balikin fakta!” Ferdi sudah berdiri dan siap meninjunya lagi, tetapi segera ditahan Pak Satpam.
“Sudah, kita dengarkan dulu, dia, Ferdi. Bapak dan semua yang di sini pun bisa membedakan mana kebenarannya.”
“Apa kalian punya hubungan khusus?” Pak Gani menatap Rizman.
“Kami emang nggak jadian, tapi deket tanpa status, Pak. Dia yang tergila-gila sama saya. Semuanya juga tahu, kan, gimana populernya saya.”
Demi Tuhan, baru kali ini aku melihat orang selicik dan sepicik Rizman di dunia nyata. Kukira orang seperti itu hanya ada dalam film-film saja. Aku terisak lagi, betapa hati teriris-iris mengingat kebodohanku yang percaya dengan tingkah so’ baiknya. Kukira sikapnya memang berubah, nyatanya malah semakin parah berulah. Sampai aku terlibat masalah pelik seperti ini.
“Benar itu, Kencana?” Pak Gani meminta penjelasanku lagi.
Aku menggeleng lemah.
“Jelaskanlah kebenarannya, jangan takut, An.” Bu Rosi menasihati lagi.