My Beloved Best Friend

Karang Bala
Chapter #22

Chapter 22 | Dia?

Maju sekarang atau selamanya jadi pecundang!?

Lagi-lagi perkataan itu terngiang pada saat-saat seperti ini, setiap kali akan mengambil keputusan untuk selangkah lebih maju. Berulang kali kubuka gawai, mengetik chat Whatsapp, dihapus, diketik lagi. Terus saja begitu, tetapi tak ada satu pun pesan yang dikirim. Kalimat-kalimat yang diketik seakan selalu salah, bagaikan kurang tepa dan selalu ada celah untuk membatalkan

Sungguh, harus diakui memang senang bukan kepalang mendapatkan nomor Kak Dirga, tetapi kini aku dilema harus memulai bagaimana. Ada gengsi dan keraguan yang mendominasi ketika akan menghubungi lebih dulu.

Harus kuakui memang ingin memiliki tetapi tidak dengan cara seperti itu. Lalu apa lagi yang dikatakan Ferdi padanya? Apakah dia mengatakan aku mengaguminya juga. Astaga .... Kenapa saat di sekolah aku tidak terpikirkan hal itu sama sekali, sih. Aku menepuk-nepuk jidat sambil mondar-mandir di kamar. Hingga tak sengaja tatapanku jatuh tepat pada buku puisi yang tergeletak di meja belajar. Yap, itu dia! Meski masih ragu menulis kalimat pembuka aku paksakan dikirim saja. Sudahlah, tak peduli benar atau salah yang penting aku sudah memberanikan diri.

Purnama: Malam, Kak.

Selang beberapa masa, getar berfrekuensi lebih cepat merambati dada. Kak Dirga terlihat sedang online, tetapi chat-ku tak juga dibaca. Bagaimana kalau dia terganggu, kesal, atau parahnya tidak mau membalas? Namun, persepsiku terbukti salah. Balasan dari nomor cowok itu pun tiba.

Kak Dirga: Iya, ini Purnama, ya?

Sontak aku meloncat senang, astaga lebay sekali diri ini! Segera kuketikan lagi balasan.

Purnama: Iya, Kak. Aku mau ngucapin makasih banyak ‘Hujan Bulan Juni’ udah dibiarin nemenin aku di sini sekian lama. Btw, aku baru inget buat ngembaliin. Maaf ya ....

Cukup lama menanti pesan itu barulah dibalas. Sepertinya cowok puitis ini sibuk mengerjakan sesuatu atau apa. Entahlah aku tidak mau berpikir terlalu banyak sekarang. Aku ingin menyugesti hal-hal positif saja yang memasuki otakku.

Kak Dirga: Seneng juga bisa berbagi bahan bacaan denganmu. Gimana kesannya?

Kencana: Keren, unik, dan berkesan. Setiap kata-katanya itu sederhana, tapi ngena. Puisi Eyang Sapardi itu membuatku ingin mengulang lagi, mengulang terus, dan tak henti melebarkan kedua sudut bibir.

Astaga, kan, jika dalam chat seperti ini aku selalu ketularan gaya ketikan Kak Dirga. Memang benar berkawan dengan penjual minyak wangi akan ketularan harumnya. Mungkin itulah yang terjadi padaku, sering berinteraksi melalui komentar dan membaca karyanya membuatku ketularan puitis juga. Aku tersenyum-senyum mengingat pertemuan pertama kami ketika masa orientasi dulu, berlanjut men-stalk akunnya, hingga menjadi kebiasaan menanti setiap postingan karyanya. 

Kak Dirga: Aku setuju, nih, Purnama. Btw yang mana paling kamu suka?

Saat kubaca balasan itu, aku mengernyit. Rasanya ada yang janggal, tapi kenapa? Ah, sudahlah barangkali hanya perasaanku saja.

Aku segera mengambil buku, karena beberapa kata tidak kuingat. Setelahnya aku ketik sebait dari puisi tersebut.

Kencana: Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

Yang ada larik ininya, Kak.


Kak Dirga: Ah, sehati. Aku juga suka bagian itu

Lihat selengkapnya