My Beloved Best Friend

Karang Bala
Chapter #21

Chapter 21| Gantungan Kunci Pena Klasik

Beraktivitas sangat malas dan perasaan tak karuan. Semuanya serba menyebalkan, pokoknya yang kuingin hanya bersantai-santai sendirian. Namun, hal itu berubah menyebalkan saat terpikir sesuatu dan men-stalking tentang mereka. Bunga yang sempat mekar di hati berguguran begitu saja, itu semua karena dia.

Tuhan, kenapa aku harus mengenal cinta pertama, jika malah dirundung pilu. Seharian ini aku tidak betul-betul menyimak pelajaran, hal ini tidak baik. Apalagi jika Papa mengetahuinya bisa berang dia. Aku menyadari tidak boleh begini, tapi bagaimana cara mengendalikan hati? Jika ada panduan mujarabnya akan benar-benar kulakukan. Namun, telah kucoba banyak tips dari beberapa artikel di internet tidak satu pun yang berhasil.

Hingga bel istirahat berdering aku malah berdiam diri di kelas, menolak ajakan Wisni untuk ke kantin. Mencorat-coret note kecilku tanpa bentuk yang jelas. Mencoba merangkai kata-kata untuk selarik puisi saja malah begitu tak karuan.

“Jika berani mencintai, bersiaplah juga dengan risikonya,” kata suara yang tak asing bagiku.

Dia mendekat, lalu seenaknya duduk di sampingku. Sementara aku tidak menimpali dan hanya meliriknya sekilas, lalu kembali memfokuskan diri dengan alat tulisku.

“Lagi patah hati, ya?” tanyanya kemudian setelah sekian jeda aku abaikan.

Sok menebak-nebak sekali orang ini. Sepertinya dia sempat membaca selarik puisi tak karuan yang kutulis tadi. Aku buru-buru menutup note kecil.

Tiba-tiba dia mengeluarkan gawai dan menyalakan musik instrumental tanpa menggunakan headset. Tumben cowok ini enggak pake penyumpal di telinganya.

“Kenapa nggak pake headset?” tanyaku. Entah kenapa aku spontan mempertanyakan hal konyol itu. Ayolah Kencana, masa iya kegalauan membuatmu se-absurd ini? 

Cowok itu malah tersenyum hingga menampakkan giginya yang bergingsul di sebelah kanan. “Cieee, berarti Lo suka merhatiin gue, dong!” todongnya sambil mencondongkan badan.

Refleks aku menggeser posisi duduk untuk memperlebar jarak, lalu melempar pandangan ke sembarang arah.

“Nggak!” bantahku ketus, “Seantero SMA Laksamana Tirta juga udah tahu, kali! Kamu, kan, nggak pernah lepas dari penyumpal telinga itu!”

Lagi, dia terkekeh. Heran aku dibuatnya, kenapa hari ini dia begitu mudah tertawa?

“Kalo gue pake headset, Lo nggak bisa denger, dong, musiknya. Ini gue nyalain buat Lo.”

Astaga, maksudnya apa coba? Dia menyalakan musik itu untukku? Apa dia sedang kesambet dedemit sekolah? Aku sampai bergidik dan menatapnya penuh kejanggalan.

“Weih! Biasa aja kali ngeliatnya! Santuy-santuy.”

Aku mengembuskan napas, kenapa dia sok perhatian begini, sih. Kalo Ferdi yang melakukan ini seperti kemarin di Mall, aku fine-fine aja. Akan tetapi ini, Rizman, si cowok vokalis band sekolah yang tengil dan suka bertindak semaunya. Terlebih jika diingat pertemanan kami yang kurang baik, eh rasanya enggak pernah baik dan waktu kerja kelompok beberapa minggu lalu itu memperparah ketidak baikan pertemanan kami. Namun, tak ada gugur dan angin sikapnya 360° berbanding terbalik seperti sekarang. Patutlah aku menyimpan curiga sangat dalam, bukan?

“Nggak usah curigaan gitu mandangnya, Kencan!” Dia menoyor jidatku seenaknya.

Aku mendelik sambil menepis tangan itu. “Jangan seenaknya manggil nama orang kayak gitu!”

“Gue sukanya gitu, gimana, dong?”

Lihat selengkapnya