My Beloved Best Friend

Karang Bala
Chapter #23

Chapter 23| Intens yang Jarang

Dia?

Aku melengos sambil membelokkan langkah untuk menghindarinya, tetapi cowok itu malah ikut menggeser posisi.

Ckk, apa, sih maumu?” aku hunjamkan tatapan ke mata tajamnya.

“Pertama, gue mau ngembaliin ini ke Lo. Kedua mau nagih ucapan terima kasih juga.”

Hah? Apa tidak salah dengar. Dia seenaknya membawa binder kecilku, kemudian menagih ucapan terima kasih. Harusnya aku marah karena dia mengambilnya tanpa izin. Pantas tadi pagi kucari ke mana-mana tak ada, kukira tertinggal di rumah ternyata dibawa cowok tengil itu. Alih-alih menimpali aku malah menarik kasar benda yang disodorkannya.

“Sori, ya. Harusnya kamu yang bilang makasih karena gak dimarahin aku. Soalnya ngambil barang orang tanpa izin itu gak sopan! Sama aja nyuri!”

Dia terbalalak, bukannya menyesal malah bicara lantang. “Eh, gue minjem doang kali. Ini gue balikin lagi, kan?”

“Minjem macam apa yang diambil seenaknya.” Kulajukan kaki cepat-cepat untuk menjauh darinya, jika tidak perdebatan ini tak akan berujung. Aku sudah pernah berdebat dengan dia dan menyaksikan pertengkaran cowok itu dengan yang lain. Tipe orang yang mudah dipatahkan argumennya, tetapi sulit dihancurkan kepala batunya. Sampai mana pun tak akan berujung jika bukan orang lain yang mengalah.

Namun, cekalan tangannya menghentikan langkahku. “Lo nggak tahu terima kasih, ya?”

Oh, Tuhan aku malas berurusan dengan orang sepertinya. Kuhembuskan napas berat sembari mengerling sebal. “Oke, makasih, Rizman! Puas?”

Dia tercengir sambil menarik tanganku, lebih tepatnya menggeret supaya menyeimbangkan langkah cepatnya. “Eh, kamu mau bawa aku ke mana? Heh, Rizman! Denger gak, sih?” Aku mengibas-ngibaskan tangan di cengkeramannya sambil memukul dengan tangan sebelah lagi.

“Rizman! Lepasin!” pekikku lagi, cowok itu kenapa lagi, sih? “Itu angkot udah dateng. Rizman aku ketinggalan itu, kan!”

Dia tidak menimpali malah sibuk tebar pesona kepada setiap siswi yang dilewati. Hampir semua memandang ke arah kami, sungguh malu bukan main. Bisa-bisanya cowok playboy ini membawaku ke kubangan tatapan-tatapan cewek pemujanya.

Fer, kamu di mana, sih. Sungguh saat ini aku butuh kamu. Dia enggak akan bisa aku lawan sendirian.

Tiba-tiba dia melepaskan tanganku saat sampai dekat perpustakaan. “Tuh liat!”

Aku masih menatapnya terheran-heran, buat apa dia membawaku ke sini. Sungguh aku tak habis pikir, apalagi suasana lengang. Angin sore berembus perlahan diiringi derap kaki terdengar lebih nyaring karena keadaan koridor sepi. Baru saja hendak bertanya, tetapi urung karena teralihkan oleh objek yang ditangkap netra.

Apa aku tidak salah lihat? Itu betulan dia?

“Liat, kan, gimana kelakuan do’i, Lo?”

Kendati penasaran dengan yang dilakukan Ferdi bersama seseorang, tetapi aku malah tergelak. Apa Rizman mengira kami pacaran? Lalau dia ingin menjadi pahlawan kesiangan yang berusaha menyelamatkanku dari penghianatan? Dia sepertinya kekurangan kaca di rumahnya, dialah yang playboy. Lagian di antara aku dan Ferdi tidak ada apa-apa, maka semua ini percuma.

Kentara sekali kebingungan tercetak jelas di wajah cowok itu. Sementara aku malah melenggang meninggalkannya.

“Heh! Kencan! Kok malah pergi, ah! Gila kali ya? Kok Lo nggak marah? Heh! Denger gue gak, sih!” Seenaknya dia menarik ranselku.

“Apa?” Aku masih mengulum senyum.

“Lo, kenapa, sih? Harusnya Lo itu marah, atau minimal nangis gitu. Ini malah ketawa, gila ya Lo? Nggak ada cemburu gitu? Atau sakit hati, kesel kek gitu!”

Lihat selengkapnya