Malamku seolah selalu dipenuhi bintang nan elok dipandang, siang pun seakan senantiasa disinari mentari cerah nan berseri. Pandanganku serupa dipenuhi bunga mekar warna-warni. Begitulah waktu yang kulalui semenjak sering berbalas pesan dengan sang dambaan hati.
Namun, ada saja yang mengacaukan pikiran. Aku memikirkan kepulangan Papa yang hanya demi orang lain. Juga perkataan beliau yang tidak mau anak-anaknya menjalin hubungan di masa-masa sekolah.
“An!” Guncangan di lenganku membuat terenyak seiring suara Wisni menyapa telinga.
“Eh, apa?” Aku menoleh kebingungan, baru kusadari tanganku masih saja mengaduk-aduk mi ayam yang belum sesendok pun dilahap.
Wisni mendekatkan bibir ke telingaku. “Aku duluan, ya,” bisiknya sambil beranjak dan membawa makanannya.
Aku yang masih kebingungan malang bengong penuh tanya. Hingga beberapa saat kemudian, langkah seseorang mendekat. Saat aku mendongak ternyata dia. Ah, pantas saja Wisni langsung menghindar.
“Gue perhatiin bengong terus dari tadi,” ujarnya sambil menempati tempat yang tadi diduduki Wisni dan menyimpan mangkok yang dipegang ke meja.
Bising murid-murid di kantin seolah menjadi backsound yang mengiringi lamunanku yang terbuyarkan.
Aku buru-buru melahap sawi dari mi ayamku sambil mengalihkan pandangan. “Ah, nggak, kok,” gumamku, sambil melilitkan mi di garpu.
Tak terdengar lagi ucapan apa pun, hanya decap kunyahan serta kelontang sendok menggesek mangkok beling. Sekilas aku menoleh, Ferdi begitu lahap memakan siomaynya. Secepat kilat kembali memusatkan perhatian ke makananku dan melahapnya sesendok demi sendok perlahan.
“Minta minum!” Dia meraih botol air mineral milikku, lalu meneguknya hingga tandas seperempatnya.
Aku tak menimpali malah turut menghentikan mengunyah mi ayam yang baru habis separuh.
“Lah, kok nggak diabisin?” protesnya sambil memberikan botol air padaku.
Aku pun segera menerima dan meneguknya sedikit, lantas menghempaskan punggung ke sandaran kursi sambil menutup botol itu.
“Ada apaan, coba cerita?” Dia menggeser posisi duduk hingga menghadap ke arahku, “Gue tahu, lagi ada yang dipikirin, kan?”
Tak ada pilihan anggukan pun menjadi sebuah jawaban, lalu menghela napas. “Kemaren papaku pulang, Fer.”
Netranya seketika berbinar, “Wah, asyik, dong. Bukannya Lo selalu pengin cepet ketemu bokap ya?”
Aku mengangguk sambil menjawab, “Tapi dia pulang bukan buat anak-anaknya. Cuma demi acara sodara di luar kota.”
Dia masih diam, sepertinya menanti kelanjutan ceritaku.