Sepulang sekolah, aku buru-buru menghangatkan nasi dan memasak makanan instan. Untungnya Hidan tidak rewel soal makanan, sehingga apa pun yang kumasak dia lahap saja.
Setelah makan sore, kami membicarakan beberapa hal soal kepulangan Papa. Seperti dugaanku, Hidan pun agak kecewa dengan sikap orang tua kami. Meski begitu, aku tetap menasihatinya supaya tetap menghargai mereka. Walau bagaimana pun kami tetaplah anak-anaknya yang tak boleh bertindak di luar batas. Selama ini kami berusaha begitu, meski di hati terkadang teriris perih harys bisa memendamnya dalam-dalam.
Hidan pun mengucapkan selamat ulang tahun dengan gaya simple dan alak adarnya. Tidak ada kado, kue tar, atau perayaan. Kami sudah terbiasa dengan tradisi rumah ini. Hanya saja, ada setitik keinginan minimal diingat oleh seluruh anggota keluarga. Hanya ucapan doa pun aku akan sangat senang, sungguh.
Namun, kenyataannya hanya Hidan yang selalu ingat. Terkadang Mama juga mengucapkan jika diingatkan oleh adikku itu, pernah juga seperti sekarang orang tuaku tidak ada yang ingat sama sekali. Parahnya hari ini mereka berdua tidak ada di rumah. Sudahlah, mungkin sebuah keharusan untuk diri ini berlapang dada.
Hingga matahari tenggelam, setelah Shalat magrib aku malah merebah di kamar. Meninggalkan Hidan seorang diri menonton televisi.
Ketimbang sibuk bermuram karam, lebih baik mengalihkan pikiran dengan sosial media atau membaca, pikirku sambil meraih gawai. Sejenak melihat postingan akun Kak Dirga, dilanjut berbalas Whatsapp dengannya. Dia juga sempat mengucapkan hari bertambah usia padaku melalui sebait puisi pendek. Aku senang, meski ujungnya dia bilang mengetahuinya karena notifikasi di Facebook. Ya, sepertinya aku memang belum sepenting itu di matanya.
Kenapa, sih, di hari yang seharusnya bahagia malah banyak menuai kecewa. Sial banget, memang! Boro-boro sweet moment, yang ada malah kampret moment.
Huh!
Kulempar gawai asal di kasur, untung empuk kalo enggak tamatlah riwayat ponselku. Tiba-tiba dering pertanda telepon masuk terdengar.
“Siapa, sih!” gerutuku sembari mengambil benda pipih itu malas-malasan dan segera menekan tombol terima tanpa melihat nama si penelepon.
“Halo, ada apa?” tanyaku dengan nada malas-malasan juga.
Suara di seberang pun menyahut, “Lo share lokasi rumah, An! Gue udah di gang yang biasa Lo turun, nih.”
Mataku melotot, betulan Ferdi sudah di gang menuju rumah ini? Astaga, bagaimana ini? Takutnya saat dia sampai ke sini, orang tuaku juga pulang. Bisa berabe masalahnya.
Kulirik jam dinding yang menunjukkan jam 7 malam sambil merapalkan doa. Semoga Papa dan Mama pulangnya sangat malam.
“An, masih denger gue, kan? Kok malah diem, sih? Lo share lokasi rumah?” ulangnya tak sabaran.
“Oke, oke, sabar dong, ah!” Aku pun mematikan telepon dan segera membagikan lokasiku melalui Whatsapp pada cowok tinggi gelap itu.
Buru-buru keluar kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Hidan yang tengah asyik menonton TV melihat heran kepadaku.
“Kenapa, sih, Kak? Nungguin Mama sama Papa?” tanyanya agak berteriak dari ruang keluarga.
Aku tidak menyahut, malah mondar-mandir di depan pintu sambil sesekali melihat ke luar jendela.
“Dasar gaje! Ditanya nggak nyaut lagi.”
Hingga beberapa menit berlalu, deruman knalpot pun terdengar berhenti di depan rumah. Lekas-lekas aku keluar, dan benar Ferdi baru tiba dengan motor matic-nya.
“Ngapain, sih, malem-malem ke sini?” Aku celingak-celinguk takut ada tetangga yang melintas, lalu nanti melapor kepada mama. Bisa panjang urusannya.
“Biarin, dong. Orang tua Lo juga enggak ada, kan?”