Kacau, hari ini sangat-sangat kacau. Gara-gara masalah itu memorak-porandakan perasaan dan pikiranku. Tak satu pun pelajaran kusimak dengan baik, parahnya ketika pelajaran olahraga di jam terakhir. Kebetulan hari ini waktunya ujian praktik gerakan dasar silat berkelompok. Hari-hari sebelumnya memang telah latihan, bahkan gerakanku bisa dibilang cukup baik mengingat aku tidak memiliki latar belakang di bidang itu dan kami terbilang kompak.
Namun, tepat saat giliran kelompok kami, aku mengacaukannya hanya karena fokusku terpecah sebab kerisauan yang mengganggu pikiran.
“Ini kelompok terkacau! Sepertinya kalian enggak latihan, ya,” ungkap Pak Rahmad saat sesi penilaian, “gerakannya kurang power, kurang luwes, dan enggak kompak juga, beberapa beda gerakan. Terutama Kencana! Kamu enggak bisa liat apa? Temen-temen kamu ke kanan, kamu ke kiri. Orang lain ke barat, kamu ke Timur. Kalian main-main sama pelajaran saya?”
Kami sekelompok menunduk, terlebih aku merasa bersalah. Pak Rahmad memang tegas, tetapi tidak pernah semarah ini.
“Kalian ikut remidial lusa, seusai jadwal penjas terakhir kelas lain!” putus Pak Rahmad sambil menutup buku penilaiannya.
Kemudian beliau menutup pelajaran penjas kali ini dengan pemberitahuan materi yang akan dibahas minggu selanjutnya. Setelah itu berpamitan pertanda jam pelajaran sai.
Kami semua berangsur bubar dari sana, sontak tatapan teman-teman sekelompok mengarah padaku. “Lo kenapa, sih, An?” Aruni yang pertama menegurku. Sementara yang lain menatapku dengan raut kesal.
“Sori ...,” lirihku sambil menunduk dan berjalan.
“Lo nggak biasanya gini, loh, An. Sayang nilai pelajaran turun drastis nanti, padahal Lo kan selama ini di atas rata-rata, selalu masuk 10 besar pula.” Lagi, Aruni yang bicara sambil .elangkah di sebelahku.
“Kalo cuma nilai dia sendiri, sih itu terserah, ya. Kalo kena imbasnya ke yang lain gini, kan, ngerugiin, dong,” ketus nindi sambil melipat tangan, “kita jadinya kudu remidial, kan.” Nindi menghentikan langkahnya di depan kami, tepat saat aku hendak berbelok ke koridor.
Sungguh, aku semakin merasa bersalah, bisa-bisanya masalah pribadi membawa keburukan kepada banyak orang. Baru kali ini aku sekacau ini, mataku mulai memanas. Menunduk tanpa berani memandang wajah anggota sekelompok.
“Maafin aku, temen-temen,” lirihku lagi.
“Percuma, kata maaf Lo nggak bisa memperbaiki nilai kita!” Nindi menyeletuk lagi.
“Udah, Nin. Lo jangan terus menghakimi gitu, dong! Kita, kan, nggak tahu apa yang dihadepin dia entah di rumah atau di mana pun itu.” Aruni memegangi pundakku.
“Ya bodo amat, itu masalah dia,” tukas Nindi sambil berlalu, “ke WC, yuk!” ajaknya pada salah seorang anggota kelompok kami sambil melangkah.
Bulir bening pun lolos di pipiku, dan segera kuseka. Sesak rasanya mendapati diriku malah menjadi sumber masalah bagi orang lain.
“Udah An, jangan terlalu didengerin. Dia Cuma kesel aja, kamu tahu, kan, gimana ambisiusnya dia soal nilai. Kita masih bisa latihan lagi nanti,” nasihat Aruni sambil mengusap bahuku perlahan.
“Thank’s, ya, Run.” Aku beranjak, tak kuat lagi menahan sesak di dada. “Aku ke kantin dulu, beli minum,” pamitku beralibi sambil berjalan.