Aku terus melangkah perlahan sambil menjaga jarak aman. Dia terus berjalan menaiki tangga hingga sampai ke koridor kelas X, berbelok menuju koridor perpustakaan. Sejenak aku tertegun sambil menyembunyikan badan di balik tembok tepat di belokan menuju perpustakaan.
Sungguh aku tak mampu berpikir lebih rasional lagi, kenapa semua cocoklogi yang kulakukan semuanya serba berkaitan? Apakah semua dugaanku ini benar, atau malah sekadar praduga yang belum diketahui kebenarannya. Jujur, aku berharap semua yang kupikirkan adalah salah. Namun, bagaimana pun aku tetap harus memastikan faktanya.
Beberapa menit aku menanti di sana karena ragu, tetapi aku harus segera mencari tahu. Jika tidak sekarang kapan lagi. Setelah helaan napas panjang segera melangkah menuju tempat yang cowok itu datangi. Aku mengintip dari jendela, dia tampak berbincang dengan ibu perpustakaan sambil menenteng setumpuk buku-buku. Kemudian satu persatu dia acungkan sambil menyebut judul-judulnya untuk dicatat penjaga. Sepintas terdengar, yang disebutkannya itu buku-buku puisi, novel, dan KBBI. Untuk apa dia meminjamnya? Bertahun-tahun aku mengenalnya, setahuku dia bukanlah orang yang gila baca, apalagi ini buku-buku puisi. Sungguh bukan jati dirinya sekali.
Tuhan, apakah pradugaku benar? Jantungku berpacu tak tentu saat mengambil gawai dari saku, lalu mencari suatu nomor. Segera kutekan tombol panggilan melalui Whatsapp, lalu tersambung.
Deg!
Degup yang bertalu seakan tersendat sementa. Dering itu? Dugaanku terbuktikan, Tuhan ..., benarkah dia merencanakan semua ini dengan matang? Lalu aku? Aku jadi bahan percobaan rencana busuknya? Kenapa dia melakukan ini?
Sesak seketika merambati dada, aku tak kuasa lagi membendung linangan air mata yang tak tertampung lagi. Detik itu juga bulir bening merembesi pipi seiring nyeri yang menjalari ulu hati. Aku sesenggukan di tempat berdiri, tidak mampu beranjak barang seinci pun.
Sekian masa berlalu, dia pun keluar dari perpustakaan. “Ana? Lo—” Keterkejutan kentara sekali dari rautnya.
Aku menatapnya nyalang penuh kebencian, segera berbalik dan berlari dengan sisa-sisa air mata yang kuseka.
Samar terdengar teriakkannya yang terus mengejarku. “An, tunggu!”
Aku semakin mempercepat laju kaki menuju kelas, tetapi tetap kalah cepat oleh larinya yang lebar dan lincah. Dia sanggup menyusulku, lalu menyimpan asal buku-buku yang didekapnya di meja. Diraihnya tanganku saat buru-buru mengambil ransel.
“Ana!” panggilnya lagi sambil meraih pundakku, lalu membalikkan supaya menghadap kepadanya.
“Lepasin, pembohong!” bentakku sambil berusaha berontak.
“Gue bisa jelasin, An! Ini nggak seperti yang Lo pikirin!”
“Jelasin apa lagi, Ferdi?” Kutatap penuh amarah. “Aku udah tahu semuanya, kamu ngerencanain semuanya, kan? Kamu manipulator ulung yang seenaknya mainin perasaan aku!” Air mata berderai lagi diiringi napasku yang memburu.
“Nggak gitu, An. Gue sama sekali nggak bermaksud mainin perasaan, Lo! DEMI TUHAN!”
“BOHONG!”
Aku menepis pegangannya di bahu sekuat tenaga, kuacungkan telunjuk ke wajahnya. “Lo bikin akun Whatsapp pake nomor baru, pura-pura jadi Kak Dirga. Terus buku-buku itu.” Sekilas kualihkan pandangan pada benda yang tergeletak di meja, lalu meneruskan, “lo minjem buku-buku itu biar mirip Kak Dirga, kan? Biar seolah-olah bisa berpuisi kayak dia, dan gue enggak curiga.”