Sesampainya di rumah aku terheran-heran mendengar panggilan Mama yang terburu-buru menuntunku masuk rumah.
“Kamu ini dari mana aja? Ditungguin dari tadi!” Dia terus menarik tanganku setelah menjawab salam.
Aku masih belum mengerti, sembari khawatir beliau membahas mata sembab dan suara parauku. Seyakin diriku setelah bercermin di gawai. Jejak tangis itu memang masih ada, tetapi sedikit lega Mama tidak mempertanyakan itu.
Namun, sesampainya di ruang keluarga aku terbelalak karena melihat Papa sudah siap dan rapi dengan tas besar yang tergeletak di samping kakinya.
“Nah yang ditunggu udah pulang, ampir aja Papa berangkat. Syukurlah kamu keburu pulang.” Dia mengulurkan tangan.
Demi Tuhan, aku tak menduga ini. Bukannya mengingat hari berkesan bagi anaknya malah menanti kepulanganku karena akan berangkat lagi. Sungguh dada ini semakin sesak saja.
Aku masih tertegun, tak mau bergerak sedikit pun. Papa yang malah berdiri mendekatiku, lalu diusapnya puncak kepalaku.
“Loh, kamu sakit, An? Kantong matamu bergelayut gitu, di sekolah nggak terjadi apa-apa, kan? Atau di perjalanan?”
Aku menggeleng lesu masih dengan ekspresi tak berubah. “Baik-baik, ya, di rumah. Ajarin adekmu, nilai kamu juga jangan sampe turun, kalo bisa mah tingkatin.”
Selalu begitu, kenapa hati anaknya tidak dipikirkan. Baru saja aku mau berucap, bunyi klakson motor di luar terdengar. Papa merogoh gawai dari saku celananya dan memeriksa layar.
“Abang gojeknya udah datang ternyata, yaudah semuanya baik-baik, ya,” pamit Papa sambil menyapukan tatapan kepada kami bertiga bergantian. Hidan mengecup punggung tangan Papa, begitu juga Mama yang dibalas rengkuhan dan kecupan di keningnya oleh Papa.
Sementara aku masih diam dan sibuk menetralkan debar kacau yang memorak-porandakan dadaku. Bibir ini mulai bergetar menahan isak, menengadah menahan genangan air mata.
Sedetik kemudian sentuhan tangan Papa di pundakku menyadarkan lamunan. Aku menatapnya berkaca-kaca.
“Jangan nangis, nanti juga Papa bakal kembali lagi, kok. Semua ini juga demi kalian, ya. Papa harap kamu ngerti." Senyum Papa begitu tulus, tetapi terasa menyayat hati.
Aku tak sanggup lagi untuk menahan tangis. “Aku dan Hidan juga butuh pengertian, Pa ...,” lirihku kemudian. “Kenapa Papa nggak ngerti? Selalu nilai, selalu urusan lain lebih penting. Kami butuh kehadiran Papa, kasih sayang Papa. Kami rindu kebersamaan seperti dulu!” Aku mengentakkan tangan beliau hingga terlepas, lalu berlari menuju kamar sambil berteriak marah.
Detik berikutnya aku terkesiap merasakan sentuhan Mama di lenganku. Apa yang kuucapkan barusan hanya lamunan? Secepat kilat menggeleng untuk menepis bayangan perlakuan kurang ajarku.
“Kencana, kamu jangan bikin papamu kuatir di jalan. Ayo salami papamu,” bisik Mama.
Aku pun terpaksa melepas kepergian Papa, mengecup punggung tangannya dengan senyum getir yang dipaksakan. Demi Tuhan aku ingin teriak meluapkan segala sesak ini.
Papa pun meraih tasnya setelah mengusap kepalaku penuh kasih, lalu berjalan keluar. Lagi, aku harus mengalami de-ja-vu yang entah ke berapa kalinya. Masa-masa terberat setiap Papa berangkat dan selanjutnya harus menabung rindu sekian lama. Menanti masa bersua yang bisa dipastikan membutuhkan melewati sekian banyak purnama.
Papa pamit melalui salam yang terucapkan seiring deru knalpot abang Gojek yang semakin menjauh dan hilang di belokan jalan.
~☆~
Beberapa minggu setelah terbongkarnya kebohongan Ferdi, perlahan aku mulai membiasakan tanpa kehadirannya. Meski hari-hari sebelumnya kerap kali lupa dengan masalah itu dan hampir mengirim pesan, atau hampir mendatanginya ketika pulang kegiatan ekstrakurikuler untuk pulang bareng. Juga masih banyak lagi, tetapi syukurnya aku tak pernah benar-benar lupa. Seperti kemarin, aku hampir saja memanggilnya saat di kantin. Bahkan aku sudah begitu dekat dengan tempat duduknya, tetapi syukurnya panggilan Aruni menanyakan buku catatannya yang kupinjam membuat niatku urung, hingga teringat pada konflik di antara aku dengan cowok itu.
Sejak saat itu aku sempat merenung. Apakah aku semerasa kehilangan itu karena jarak yang semakin terbentang di antara kami? Ah, tidak mungkin, itu pasti cuma kebiasaan saja. Ya, aku hanya belum terbiasa tanpa kehadiran sahabat yang menjelma penghianat.
Namun, aku bersyukur padatnya jadwal dan kegiatan di sekolah menjelang pensi membuatku lebih banyak beraktivitas dan bisa mengabaikan soal perasaan. Pekan kreasi seni tahunan di SMA Laksamana Karya memang melibatkan banyak pihak khusus lingkungan sekolah. Apalagi kelas XII yang notabene setiap tahun diwajibkan membuat stand bazar kuliner dengan tema nusantara. Begitu juga dengan kelasku, beberapa hari lalu telah bermusyawarah dipandu wali kelas perihal dana dan konsep budaya yang akan dipakai. Kami sekelas pun sepakat untuk menggunakan batik dan kerajinan tradisional Jawa Barat sebagai ikon utama. Namun, disadur menggunakan gaya kafe milenial dengan spot foto menarik supaya tetap fresh dan menyedot perhatian adik-adik kelas. Yang tentunya suka dengan sesuatu yang hitz di kalangan remaja.