Meriah, menyenangkan, dan melelahkan: tiga kata yang tepat untuk menggambarkan hari ini. Wajah-wajah ceria berangsur pudar seiring matahari yang makin tergelincir ke Barat. Bagaimana tidak? Seharian mengurusi stand bazar kelas masing-masing dengan seabrek strategi pemasaran di tengah persaingan stand kelas XII lainnya.
Begitu juga dengan kelasku, kami bahu membahu menjelma berbagaai profesi: koki, kasir, pramusaji, fotografer, wartawan, dan yang lainnya. Tidak, sebenarnya ada satu profesi yang modal tampang dan popularitas. Dialah si maskot kelas, tapi memang berperan cukup banyak untuk menyedot perhatian adik-adik kelas terutama kaum hawa. Dialah Rizman, si songong yang kini duduk-duduk sambil meminta jatah makanannya setelah acara pensi hari pertama selesai.
“Gue capek ya, tebar senyum sana-sini sampe pegel ini bibir. Tarik sana-tarik sini dimintain foto bareng macem-macem gaya sampe gue mati gaya. Terus elo-elo pada gak kasian apa, gue butuh amunisi buat memancarkan lagi pesona kegantengan yang ampir redup gara-gara terus ditebarin, nih,” celetuknya saat anak-anak kelas XII IPA1 tengah meredakan penat.
Sontak teman-teman pun tergelak dan ber-huuu nyaring. Nindi yang tengah mengambil jatah nasi kotaknya menimpali, “Heh, maskot songong! Jangan mentang-mentang, ya! Ambil sendiri, lah, orang itu kardusnya ada deket kursi Lo.”
“Ambilin sekalian, lah.” Rizman masih sibuk dengan gitarnya.
Aku yang sedang mengambil jatah makananku berinisiatif mengambilkannya, “nih,” kataku sambil berbalik ke kursi lain. Hitung-hitung sedikit balas budi atas tisunya waktu itu.
“Eh, elo. Duduk sini!” Dia mengarahkan dagunya ke kursi di sebelahnya sambil menerima benda yang kusodorkan.
Untunglah teman-teman tidak mengacuhkan, mereka sibuk dengan makanan masing-masing. Jika tidak, bisa penuh telingaku dengan cie-cie yang akan merambat pada banyak hal.
Aku menatap Wisni sekilas sambil berucap tanpa suara, “Gak Papa?”
Dibalas anggukan dan isyarat mata dari chairmate-ku itu. Setelah itu, aku pun duduk di tempat yang ditunjuk cowok itu, lalu melahap makanan dengan semangat. Sungguh perut ini lapar sekali.
Puluhan menit berlalu, seusai makan dan istirahat kami pun membereskan segala peralatan di luar dan memindahkannya ke dalam kelas. Setelahnya barulah kami berangsur pulang.
Aku melangkah bersisian dengan Wisni tanpa banyak bicara, rasanya ingin melesat secepat kilat lalu segera merebah di kasur saking lelahnya. Astaga, saking sibuknya aku sampai lupa menghubungi Mama, kan. Segera kurogoh saku rok untuk mengambil gawai, tetapi benda yang kucari tak ada. Kuhentikan laju kaki dan memeriksa tas. Masih juga belum ketemu.
“Kenapa, An?” tanya Wisni yang terheran melihatku berhenti.
“Kamu liat hapeku nggak?” Aku terus memeriksa setiap restleting tas, siapa tahu aku lupa memasukkan ke sana, kan?
Dia sejenak mengingat. “Lah, bukannya tadi kamu mainin di kelas ya? Coba kutelpon ya.” Segera diambil gawainya, lalu menghubungi nomorku.
Aku pun turut mengingat sambil menanti Wisni mematikan teleponnya, mungkin saja dugaan Wisni itu benar.
“Gimana?”
“Aktif, kok. Tapi nggak ada yang ngangkat.”
Astaga, aku kan mengatur mode sunyi selama kegiatan tadi. Sial sekali.
Aku segera berbalik, khawatir tidak ada di sana. Kalau jatuh di tempat lain, kan berabe. “Kamu duluan aja.”
“Gak papa emang?”