Demi semua kenangan pahit yang telah menjadi horor, aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan Koko! NEVER. NEVER. NEVER.
Baiklah, itu mungkin berlebihan, tetapi sepak terjang Koko menguntitku sudah luar binasa kelewatan. Aku berusaha menyimpan air mata kekesalan yang mulai menggenang di sudut pelupuk mata. Malu kalau ketahuan oleh semua orang satu dojo, apalagi sensei. Mau ditaruh di mana lubang hidungku?
"Manda, ada cowok yang menunggu kamu di luar." Sensei Juned, senseiku yang masih muda, ganteng, tapi lugu, berbaik hati memberi tahu. Naura, sahabatku yang juga ikut latihan bareng aku, lantas memberi kode “merah besar” di matanya-BAHAYA. Jantungku langsung melorot ke bawah, lalu tampaklah kepala Koko celingak-celinguk di depan pintu aula dojo kami.
Hah? Apa yang dia lakukan di sini? Aku langsung memasang jurus bersembunyi dalam kawanan dan balik menatap Naura ketakutan. Siapa yang memberitahu Koko kalau aku latihan karate di dojo ini? Mataku membulat kepada Naura. Ia hanya mengangkat bahunya “TAK TAHU” seakan memahami tanda tanyaku. Duh, mampus, deh, aku hari ini! Cowok itu bahkan dengan sengaknya mengirimkan pesan lewat salah seorang pelatihku. Siapa sudi ketemu dia? Ogah.
"Manda, dari tadi ada yang cari kamu, tuh!" Kini giliran kohai seperguruanku yang memberi tahu.
Aku langsung menggeleng. "Gak kenal," jawabku.
Kejadian serupa terus berlangsung berulang-ulang lewat penyampai pesan yang berbeda. Jumlah murid di dojo ini puluhan orang, apa Koko mau request mereka satu per satu? Alamak, malunya! Kohai-kohai-ku mulai berbisik curiga. Sementara, Koko sudah mengendus titik keberadaanku dan melambaikan tangannya dengan ceria tanpa rasa bersalah.
"Manda, maunya Koko apa, sih?!" Naura berang.
Naura saja berang, apalagi aku!
"Manda." Sensei Juned menyamperi aku lagi. Duh, apa lagi sih. Kalau bukan karena dia senseiku dan sikapnya yang sopan, aku pasti sudah memasang wajah kesal. Naura pernah bilang kalau Sensei Juned punya rasa sama aku dan sedang dalam upaya PDKT, tapi kenapa dia tidak peka sama sekali kalau aku sedang berusaha mengirim sinyal darurat butuh bantuan? Jelas-jelas aku sudah menolak bertemu Koko! Ah, Sensei Juned orangnya terlalu polos dan baik hati, sih. Kalau aku bilang Koko itu mantanku yang sedang stalk aku, gimana reaksinya coba? Boro-boro, dia pasti langsung mundur.
Virus akhirnya menyebar juga. Dengan percaya dirinya, Koko masuk ke dalam ruang dojo, lalu mendekatiku di antara denshi (siswa karate) yang sedang break latihan. Sialnya, ada Sensei Juned di sampingku.
"Manda, ikut aku, yuk!" ajaknya memaksa menggamit tanganku yang langsung kutepis dengan kasar.
"Siapa, Manda?" Sensei Juned malah bertanya padaku. Dari tadi dia bolak-balik menyampaikan pesan, baru kepikiran, ya? Sensei, oh, Sensei ….
"Pacar," jawab Koko singkat langsung memancing emosiku.
"Udah putus, juga!" Naura menimpali.
"Oh. Aku pergi dulu ya, silakan bicara." Sensei Juned malah mengeluyur pergi dengan ekspresi tidak nyaman.
Eh? TIDAAAK, jeritku nelangsa dalam hati. Sensei, jangan tinggalkan aku sendiri!
Untunglah Naura tidak ikut-ikutan meninggalkanku. Sahabatku ini mengambil langkah nekat dengan menarik tanganku. Kami lalu mencari area perlindungan di dekat Sensei Iskandar, pimpinan dojo yang sedang asyik berdiskusi dengan seorang pelatih lainnya. Tidak kami pedulikan tatapan keheranan denshi yang lain, yang penting selamat dari kejaran Koko.
Untuk sementara. Selanjutnya? Aku panik.
Lalu, mataku melebar teringat sesuatu. AVICENNA.
Ya Tuhan... baru beberapa hari yang lalu dia memberiku nomor telepon dan aku sudah meminta bantuannya? Malunya .... Tapi aku betul-betul ketakutan sekarang. Lebih baik malu minta bantuan sama Senna daripada malu ketahuan satu dojo. Kira-kira, dia mau tidak, ya, bantu aku?
"Kok malah main HP, sih?" Naura mencak-mencak menatap gerakan jariku yang terburu-buru mengetik sebuah pesan darurat.
"Minta dijemput, Ra," tukasku malu-malu.
"Siapa? Ibumu?"
Aku menggeleng. Ya, enggaklah. Bakal perang dunia kalau Mama bertemu Koko sekarang. Lagipula, Mama mana ada waktu?
"Ada deh," tukasku lagi singkat karena terlalu cemas untuk menjelaskan situasinya sekarang.
Kriiing. Tiba-tiba ponselku berdering. Yup. Aku enggak pakai ringtone macam-macam.
"Di mana, Kak?" Sebuah suara agak dalam terdengar di seberang sana dan aku langsung gelagapan menjelaskan keberadaanku sekarang. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Senna bakal menggubris pesanku tadi. Instan, pula. Perasaanku jadi lebih kalem.
Tak kurang dari seperempat jam kemudian, wajah penyelamatku itu muncul di pintu dojo, aku merasa terharu, nyaris berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Setelah memberi hormat di depan pintu, Senna masuk ke ruang dojo dengan gaya percaya diri dan menarik perhatian semua orang. Bagaimana tidak? Saat itu, dia juga masih mengenakan celana karate, walaupun uwagi-nya (seragam atasan karate) sudah diganti dengan kaus dan hoodie. Seorang karateka asing masuk ke dojo orang kesannya mau menantang kumite (bertanding) saja.
"Osu." Senna langsung membungkuk memberi salam pada Sensei Iskandar yang lantas membalas.
"Avicenna?" sapa Sensei Iskandar mengenalinya.