Tolong, jangan membayangkan yang tidak-tidak. Avicenna hanya mengajakku menikmati jagung bakar di area rekreasi pusat kota. Seusai latihan karate, tentu saja perut kami jadi keroncongan. Pilihan tempatnya juga sangat pas karena cuma berjarak seratus meter lebih dari dojo. Hanya saja, ada satu hal mengenai tempat ini yang tidak pas dan mengganjal di hatiku: “Pantai Jodoh” nama tempatnya.
Dari namanya saja, kalian sudah bisa menduga kenapa aku merasa malu, bukan? Walaupun sekarang tempat ini sudah berganti nama menjadi Taman Siring karena letaknya yang berada di bantaran sungai, tetap saja nama “Pantai Jodoh” masih melekat padanya hingga sekarang. Dulu, tempat ini pernah menjadi tujuan utama muda mudi nongkrong buat pacaran. Aku dan Koko juga pernah ke sini kala masih ada cerita di antara kami berdua. Seringnya karena dia yang memaksaku demi kepentingan pribadinya. Setumpuk tugas kuliahnya, tentu saja. Grrr.
Kenapa aku jadi mengungkit-ungkit masa lalu yang kelam, sih? Sekarang, kan, aku bersama Senna? Nah, nah, itu baru melindur! Memangnya, ada apa di antara aku dan Senna? Baper melulu bawaannya!
Uh, mudah-mudahan saja tidak ada yang kenal aku di sini. Asal tahu saja, kotaku ini sempit. Peluang untuk bertemu kenalan di area umum sangatlah besar. Jika ada di antara teman-teman kuliah yang menangkapku basah di tempat ini, maka habislah sudah. Aku pasti akan dijadikan bulan-bulanan oleh mereka di kampus karena ketahuan jalan dengan berondong.
Kugigit bibir lelah. Aku sudah terlampau capek dengan drama dalam hidupku. Aku tidak mau memikirkan apa-apa sekarang. Aku hanya ingin menikmati jagung bakar yang gurih ini. Uh, rasanya enak sekali. Jagung bakar memang tiada duanya. Apalagi makannya di pinggir sungai menjelang senja yang indah. Menakjubkan. Ini surga dunia. Aku memejamkan mata khidmat.
"Kak Manda."
Uhuk! Aku nyaris tersedak. Bukan tersedak biji jagung, tetapi tersedak wajah Senna yang ganteng. Aku sempat lupa kalau dia ada di sampingku. Sekilas aku melirik lalu buru-buru menyelamatkan mataku dari pesonanya yang menghanyutkan.
Senna itu masih SMP, Manda. Stop berpikir yang aneh-aneh!
Aku mendesah. Kekaguman yang kurasakan terhadap dirinya masih wajar, bukan? Dia telah menolongku dua kali, dan kebetulan saja anaknya memang ganteng. Lagi pula, aku masih sadar diri, kok, untuk tidak berfantasi yang heboh-heboh seperti dia menembak aku, begitu. Itu halu namanya.
Maaf, aku masih normal. Andai boleh ditanya siapa cowok yang kuharapkan bakal mengisi status jombloku sekarang, maka Sensei Junedlah orangnya. Namun sayang, yang ada di sampingku sekarang adalah Avicenna. Aku menggigit bibir getir. Perjalanan cintaku memang tidak semulus jalan tol.
"Boleh tanya sesuatu, Kak?" tanyanya sopan. Aku mengangguk saja memberinya lampu hijau.
"Kak Manda ikut latihan karate karena kemauan sendiri atau karena terpaksa gara-gara diganggu mantan?"
Eh? Pertanyaannya tak disangka-sangka dan membuatku malu.
"Dua-duanya," desahku pelan.
"Hmm." Senna ikut mendesah. Kenapa situasinya jadi berasa serius begini?
"Memangnya kenapa, Sen?" Giliranku kepo. Dia tampak berpikir keras sebelum menjawab.
"Sebelumnya, aku minta maaf, Kak. Boleh aku omong jujur?"
Deg.
"Silakan," jawabku. Padahal, hatiku berdebar tidak keruan. Sumpah, kenapa situasinya serasa serius begini?
"Pandang mataku saat bicara, Kak Manda, dan dengarkan baik-baik," perintahnya tegas. Kini dia berpindah posisi duduk persis di hadapanku. Tidak paham dengan apa yang tengah terjadi, aku lakukan saja apa yang dia suruh dan tidak berani membantah. Setelah yakin bahwa aku akan mendengarkan perkataanya, Senna mulai bicara.