"Osu!"
Aku merasa canggung mengekor di belakang Senna. Kami telah berada di depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Setelah membukanya, ia menghormat terlebih dahulu; tangan dirapatkan di samping, sementara badan membungkuk ke depan. Sebenarnya, tradisi ini sudah lumrah bagi masyarakat Jepang dan dijadikan salam penghormatan dalam karate.
Ruangan di depan kami gelap gulita. Remaja tanggung itu mendahului masuk ke dalam, lalu terdengar bunyi “klik” saklar dipencet beruntun. Sontak delapan lampu LED di langit-langit menyala menerangi penglihatan.
Aku pun tercengang melihat ruangan di hadapanku, lalu mataku tertumbuk pada Senna yang sedang memandangku seolah-olah bertanya kenapa aku hanya berdiri di luar. Sebuah kesadaran di otakku lantas menyuruh untuk meniru perbuatannya tadi dan melangkah masuk dengan ragu.
Aku tidak menyangka di loteng rumah Pak RT ada ruangan seperti ini. Tempat cukup luas berukuran sekitar seratus meter persegi itu telah disulap menjadi sebuah sasana latihan yang cukup untuk menampung belasan denshi (siswa karate).
Di seberang ruangan terdapat matras yang ditumpuk-tumpuk bersandar ke dinding. Sebuah samsak tinju besar berwarna hitam tergantung di dekat sudut. Tidak jauh dari situ, ada lemari nakas besar dengan perlengkapan kumite dan beberapa senjata dari kayu–belakangan aku tahu itu disebut kobudo (senjata-senjata kayu yang dipakai dalam latihan karate Wado-ryu)–serta satu lemari gantung penuh karategi berbagai ukuran.
Di mana aku?
Aku langsung merasa disorientasi. Tempat ini memberikan intensitas yang lebih berat dibandingkan saat berada di dojo. Ruangan ini seperti apa yang kalian tonton di film-film aksi yang penuh dengan suasana “pembantaian”. Apakah ini hanya perasaan ansietasku saja? Kenapa aku harus takut pada seorang remaja?
Seusai mandi dan makan yang semuanya kulakukan dengan kilat, perintah Senna menyeretku ke tempat ini. Dia bermaksud menepati janji untuk mengajari aku “Sumpah Karate”. Sebenarnya, perasaanku sudah tidak enak tadi demi melihat penampilannya yang lengkap dalam karategi saat menyambut kedatanganku di rumahnya. Kini, rasanya menjadi jauh lebih tidak enak. Aku pun menyesal karena tidak segera kabur dari sana. Senna tiba-tiba menutup pintu di belakang kami.
Hei, kenapa pakai acara pintu ditutup segala, sih? Apa Senna bermaksud mengurungku di sini?
"Silakan Kak Manda pakai dogi yang mana saja, ukuran kita sama, ‘kan?" Senna bersikap santai, berbanding terbalik denganku yang malah gugup tidak beralasan.
Sebenarnya, bukan tanpa alasan, sih. Aku ingat betul saat pertama kali Naura mengajakku ke dojo, perutku mual tidak keruan, bahkan sebelum latihan dimulai. Untuk ukuran cewek yang polos sepertiku, berada di dalam sebuah dojo memberikan tekanan yang amat besar karena suasana senioritas dan junioritasnya terasa sekali di dalam sana. Aku merasa sangat rendah diri kala itu karena belum punya ilmu apa-apa, sementara banyak denshi yang usianya lebih muda dariku sudah memakai obi (sabuk) berwarna kuning, hijau, dan biru. Hanya aku, Naura, dan seorang kohai lagi yang masih berstatus sabuk putih. Aku memulai karate dari nol. Saat ini pun, aku masih nol.
"Sen, rencananya, kan, kita cuma belajar Sumpah Karate. Kenapa harus pakai karategi segala?" Aku setengah memprotes, yang alhasil membuat Senna menatapku serius.
"Tidak ada yang instan dalam karate do, Kak Manda. Belajar karate itu tidak cukup dengan teori saja, tetapi harus dipraktikkan dengan jiwa dan pemahaman." Senna menyerocos dengan tingkat pengetahuan yang aku yakin ia peroleh dari pengalaman mumpuni.
"Jadi, kita harus latihan sekarang?" tanyaku agak keberatan. Yang benar saja, aku baru pulang latihan sore ini, lalu disuruh latihan lagi?
"Di mana semangat karatemu, Kak?" Senna menyosorku balik.
Duh, apa dia lupa kalau aku telah bilang ingin berhenti dari karate? Tapi, kok, jadi malu begini, ya, rasanya? Dalam kurun waktu singkat, aku memutuskan untuk mundur ibarat anak kecil yang sedang bermain-main saja. Senna mungkin pantas marah kepadaku, apalagi waktu aku bilang karate ini hanya sebagai taruhan antara aku dan Koko.
"Selamat datang di dunia karate, Kak Manda!"
Aku tidak berkutik ketika Senna berbaik hati mengambilkan satu set karategi, berikut sabuk merah dan menyodorkannya padaku, sedangkan dia sendiri menggunakan sabuk biru. Uh-uh, positif sudah … aku tidak bisa kabur malam ini.
Dia menyeringai penuh kemenangan karena berhasil memaksaku mengenakan karategi untuk kedua kalinya hari ini. Dasar bocah, masih sempat-sempatnya dia mengerjaiku dengan melontarkan senyuman usil itu.
Sabar, Manda, sabar .... Kamu tahu sendiri rata-rata berondong memang suka memaksa gitu. Ya, aku memang sudah hafal dari pengalamanku bersama Koko dulu yang usianya terpaut dua tahun di bawahku.
“Siap, Kak?”
"Yoi!" Aku memberi tahu bahwa sudah siap.
"Pakai ini." Tanpa basa-basi, dia langsung membantuku mengenakan sebuah pelindung kepala dan dada.
"Untuk apa ini?" protesku heran. Setahuku, ini perlengkapan yang hanya dipakai untuk kumite (bertarung). Firasat burukku terbit.
"Safety first .... Kalau Kak Manda masuk rumah sakit gara-gara terpeleset, kan, enggak lucu?"
Ih, apaan, dia meremehkan sekali! Aku tidak percaya kalau cuma itu alasannya. Pasti Senna merencanakan sesuatu.
"Otaigai ni!" perintahnya dalam bahasa Jepang agar kami berdiri berhadapan. Senna sudah berdiri dalam posisi kedua tumit rapat sementara telapak kaki direnggangkan. Aku belum terlalu paham dengan perintah-perintah dalam karate, jadi aku tidak banyak bicara dan hanya menuruti perbuatannya karena aku sekarang adalah kohai (junior) dan dia adalah senpai (senior). Dalam karate, hierarki berdasarkan penguasaan beladiri tanpa memandang usia.