Hari itu, jadwal pertama May adalah mengantar Alice ke sekolah. Sepanjang perjalanan, May mempelajari buku catatan yang tadi diberi Matilda, dan dia tak menyangka jika menjadi seorang pengasuh bebannya seberat ini. Dia bukan hanya mengantar Alice ke sekolah atau ke tempat les, tapi juga harus memastikan agar gadis kecil itu tetap sehat, cerdas, dan bahagia. Untunglah mereka diantar sopir dan mobil pribadi kemana-mana, jadi beban May untuk menjaga Alice di transportasi umum berkurang.
May melirik ke arah Alice yang duduk di sebelahnya. Alice membalas tatapan May dan melempar senyum manis. Sejauh ini May menilai Alice adalah anak kecil polos pada umumnya. Sepertinya Alice juga anak yang baik dan manis, jadi mengurus Alice pasti tidak seberat kelihatannya.
“Tante sudah punya suami?” tanya Alice dengan polosnya. May tersentak dan menggeleng.
“Tidak,” jawab May. Dia pikir bukan hal yang tepat jika dia menceritakan soal perceraiannya dengan bocah berusia 5 tahun.
“Oh. Jadi Tante belum punya anak?” tanya Alice lagi. May tertegun dan mengelus perutnya. Dia mengingat jika beberapa waktu yang lalu sosok anak yang ia idam-idamkan berada di dalam sana.
Karena May tidak menjawab pertanyaannya, Alice kembali melontarkan pertanyaan, “Kalau adik, Tante punya?”
May menoleh kembali ke arah Alice dan menggeleng, “Tidak. Aku tidak punya saudara maupun orang tua.”
Mendengar jawaban May, Alice terkejut karena setahu dia semua orang memiliki orang tua dan saudara di dunia ini.
Melihat wajah Alice yang tegang, May pun melanjutkan kalimatnya, “Tapi aku sangat menyukai anak kecil. Apalagi gadis manis sepertimu.”
Sebuah senyum langsung mengembang di wajah Alice mendengarnya. Sebenarnya dia masih ingin melontarkan banyak sekali pertanyaan, namun saat melihat May kembali fokus pada bukunya, Alice pun mengurungkan niatnya itu. Nanti saja dia bertanya lagi pada pengasuh barunya ini jika mereka sudah lebih santai.
Tak berapa lama kemudian, May dan Alice pun sampai di sekolah. Ini adalah sekolah taman kanak-kanak termegah yang pernah May lihat. Gedungnya sebesar kampus, dan hampir semua orang tua yang mengantar anaknya memakai mobil mewah. Bahkan, May melihat ada yang memakai mobil sport Lamborghini sekilas tadi.
“Ini sekolahnya?” tanya May tak percaya. Alice mengangguk dan menggandeng tangan May.
“Anter Alice ke dalam ya Tante,” pinta Alice penuh harap. May mengangguk.
Setelah sang sopir membukakan pintu, Alice dan May pun turun. May sempat berkenalan dengan sopir pribadi mereka yang bernama Max itu tadi saat di perjalanan. Sopir tersebut berusia sekitar 35 tahun. Dia bilang kalau dia sudah berkeluarga dan memiliki satu anak dan anak istrinya tinggal di kampung halamannya.
“Apakah Anda akan menunggu kami?” tanya May sedikit gugup. Dia sebenarnya takut masuk ke sekolah besar itu, dan membayangkan jika dia akan ditinggal berdua dengan Alice di sana sungguh mengerikan.