Chapter 27
Hujan telah berhenti semenjak dua jam yang lalu. Setelah menyelesaikan sisa jam kerjanya di perpustakaan sore tadi, Eva memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki.
“Aku butuh udara segar,” ujarnya pelan ketika Susan, atasannya, memaksa dirinnya untuk menumpang mobilnya untuk pulang.
Susan mengangguk. “Baiklah, kau bekerja dengan sangat baik hari ini. Sampai jumpa lagi besok ya.”
Eva balas tersenyum lalu melambaikan tangannya saat Susan mulai menjauh dari hadapannya. Mobil tua itu melaju di jalanan yang masih basah bekas air hujan sore tadi.
“Tentu saja aku bekerja dengan baik. Kinerjaku sudah hampir sama dengan jimat penangkal hantu,” gumamnya.
Sembari merapatkan mantel lusuhnya, gadis itu lalu memandang malas ke arah gedung perpustakaan tua di belakangnya. “Sudah berapa lama aku secara suka rela mau terlihat seperti orang gila karena harus berbicara dengan Bella? Aku rasa aku harus mulai meminta kenaikan gaji ke Susan,” gumamnya lagi.
Melangkahkan kakinya pelan, Eva pun memulai perjalanannya pulang. Jalanan tampak sepi. Cahaya lampu jalan memantul di permukaan aspal, membentuk bayangan panjang yang bergerak setiap kali ada kendaraan yang lewat.
Eva mempererat genggamannya pada payung pemberian Phillips. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia membawanya. Langit tidak menunjukkan tanda-tanda hujan akan turun lagi tetapi entah mengapa, berat payung di tangannya itu terasa menenangkan, seperti seorang teman diam yang berjalan di sampingnya.
Semakin jauh ia melangkah, semakin berubah wajah kota di sekelilingnya. Deretan pertokoan yang rapi berganti menjadi jalanan sempit dengan trotoar retak, dan lampu oranye yang temaram. Udara membawa aroma karat dan genangan air lama dari selokan berwarna hijau yang gelap. Jemuran pakaian menggantung dari balkon-balkon apartemen kumuh yang berjejer di sisi dan kanan jalan.
Payung di tangannya memberi sedikit rasa aman, sebuah isyarat halus dari Phillips yang masih membekas dalam ingatannya. Ia sempat bertanya-tanya apakah pemberian itu dimaksudkan untuk meminta maaf atau hanya tindakan spontan semata.
“Itu tidak berarti apa-apa,” Eva menggelengkan kepalanya keras. “Jangan terlalu banyak berharap Eva. Ingat ia memecatmu bahkan sebelum mendengarkan alasan darimu. Dia itu pria sombong yang manja dan egois.”
Eva mencoba untuk fokus melanjutkan perjalananya ke apartmen yang semakin dekat. Saat mencapai tikungan yang familiar menuju daerah tempat tinggalnya ia memperlambat langkahnya. Lampu-lampu di sana jauh lebih redup. Ada yang berkedip lemah, seolah hendak padam kapan saja, sementara yang lain sudah lama mati, meninggalkan sudut-sudut gelap yang seakan menelan apa pun di dalamnya.
Tetapi sebagaimana pun kerasnya Eva mencoba untuk tidak memikirkannya, tetap saja ia masih kesal. “Bagaimana bisa dia seenaknya menuduhku sebagai pencuri!” kali ini Eva sedikit berteriak.
Ia kembali teringat dengan Phillips yang menuduhnya tanpa bukti. Ia sadar posisinya sedang butuh banyak uang tapi bukan berarti Eva akan nekat mencuri.
Dengan kesal ia kembali berjalan. Langkah kakinya bergema memenuhi suasana jalanan yang hening. Ia menatap lurus ke depan, meski bisa merasakan bayang-bayang di sekitarnya seperti ikut mendengarkan napas tenangnya. Payung itu berayun pelan, sesekali mengetuk pahanya seirama dengan langkahnya.
Ia merasa ini terlalu familiar dan nyaman dengan keadaan di sekitarnya saat ini. Pantas saja dulu ia sama sekali tidak takut ketika pertama kali menginjakkan kaki di manor Alaistair, ternyata seumur hidupnya ia sudah sangat terbiasa dengan suasana sepi dan horor seperti ini. Daripada hantu Eva lebih takut dengan perampok. Meskipun ia sendiri sadar dengan penampilan lusuhnya, tidak mungkin perampok berminat untuk merampoknya.
Ia mengembuskan napas, berusaha menenangkan diri. Hampir sampai rumah.
Seekor kucing liar menyelinap melintasi jalan, menghilang di balik deretan tong sampah berkarat. Dari kejauhan, sebuah jendela tertutup dengan keras. Eva spontan menarik mantel lebih rapat dan mempercepat langkahnya. Bangunan-bangunan di sekitarnya tampak menjulang lebih tinggi, miring seolah hendak roboh, seperti raksasa kelelahan yang mengawasi dari atas.
Pikirannya buyar ketika hembusan angin mendadak melintas di antara gang, membuat lembaran plastik yang menutupi lapak-lapak kosong berkibar menimbulkan suara bising. Eva berhenti sejenak, memejamkan mata menghadapi terpaan itu.
Lalu, ia mendengarnya.
Suara pelan. Tak teratur. Seperti langkah kaki. Lambat. Berat. Mengikuti.
Eva menelan ludah. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Sebagai gantinya, ia menggenggam payung itu lebih erat dan meneruskan langkah lebih cepat kali ini menuju cahaya temaram yang berkedip di depan, tempat gedung apartemennya berdiri di ujung jalan.
“Sedikit lagi sampai,” bisiknya pelan. Berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Namun, semakin ia berjalan cepat, suara langkah kaki di belakangnya semakin terdengar jelas mendekatinya. Tidak ada siapa pun di sana. Meskipun Eva berteriak, gadis itu yakin tidak akan ada yang akan mendengarnya. Jantungnya berdegup cepat. Napasnya berderu kencang.
Mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya. Eva memejamkan matanya kemudian berbalik dan mengayunkan payung di tangannya asal. Meskipun tangannya gemetar hebat tapi ia tidak peduli. Tidak masalah jika dia salah sasaran dan berakhir melukai seseorang atau ayunan payungnya justru berakhir sia-sia karena hanya bertubrukan dengan angin. Karena bagaimana pun mengendap-ngendap di belakang seseorang terutama wanita dan di malam hari itu tidak benar.
Wuz Wuz
Bug! Bug!
Payung Eva berbenturan dengan sesuatu berkali-kali. Keras dan padat. Dengan bertubi-tubi Eva masih mengayunkan payungnya tanpa ampun. Ia baru berhenti ketika terdengar suara krek lalu diikuti suara seseorang berteriak kesakitan.
“Aw! Hentikan! Kau ini kenapa Eva? Ini aku.”
Eva menghentikan aksi brutalnya lalu membuka matanya.
“Phillips?”
Masih dengan napas yang terengah-engah sembari masih memegang payung dengan posisi siaga. Jantungnya belum mau tenang. Matanya membulat seolah otaknya belum bisa menerima apa yang ia lihat.
“Apa dia memang tidak pernah menyerah?” batin Eva tidak percaya.
“Kau ingin membunuhku?” tanya Phillips sambil memegang lengan kananya yang sedari tadi ia gunakan sebagai tameng pelindung.
“Justru aku yang bisa mati duluan karena terkena serangan jantung.”
“Astaga pukulanmu kuat sekali.”
“Itu masih belum seberapa. Mengikutiku ke perpustakaan di siang hari sudah terasa tidak wajar apalagi mengendap-ngendap di belakangku di malam hari. Hanya psikopat atau pembunuh berantai yang melakukan hal-hal gila seperti itu.”
Phillips menggulung lengan bajunya untuk memeriksa keadaan lengannya. Sementara Eva menurunkan payungnya dan mencoba menenangkan jantungnya.
“Astaga!” teriak Eva tiba-tiba.
“Ada apa?!” Phillips ikut berteriak lalu dengan panik memeriksa lengannya sendiri, ia menduga Eva melihat sesuatu yang salah pada lengannya yang berdenyut sedari tadi.
“Payungnya bengkok!” ucap Eva kesal dan memandang kesal pada payung yang kini sudah rusak itu.
Phillips memandang Eva seolah tidak percaya.
“Kau baru saja memukulku setengah mati dan yang kau khawatirkan adalah payung itu?”
Sama sekali tidak menanggapi Phillips yang terlihat kesal, Eva justru fokus menatap payung hitam itu miris. Usianya belum sehari tapi payung itu sudah tewas di tangannya.
“Mind you, aku hanya membeli payung dengan kualitas terbaik. Tidak mungkin dia bengkok semudah itu. Berarti tenagamu tadi sangat luar biasa,” ucap Phillips sembari menggosok lengannya.
Eva mengerutkan keningnya setelah melihat warna merah mulai muncul di lengan mantan majikannya itu. Ia yakin sebentar lagi kemerahan itu akan berubah membiru. Sebetulnya ia sedikit merasa bersalah. Tapi ia berusaha terlihat biasa saja.
“Maaf,” ucap Eva dengan nada sedatar mungkin. “Ini bukan sepenuhnya salahku. Kau seharusnya batuk atau memanggil namaku.”
Phillips menyandarkan punggungnya ke tembok terdekat sambil tersenyum miring, senyum yang entah kenapa membuat Eva ingin memukulnya lagi. Sepertinya Phillips puas setelah mendengar permintaan maaf dari Eva.
“Lain kali aku harus menjaga jarak aman jika ingin mengikutimu pulang. Akan aku ingat bahwa diam-diam berjalan di belakang Eva brogh Cecilia setelah matahari terbenam akan terancam resiko cedera fisik.”
Eva memutar bola matanya, tapi pipinya memanas.
Ia benci fakta bahwa dari semua orang di dunia ini kenapa Phillips yang harus muncul dan menguntitnya. Jujur saja jika yang muncul di hadapannya tadi adalah perampok atau hantu, mungkin Eva akan lebih senang.
Phillips memperhatikannya sejenak, ekspresinya melunak.
“Eva.” Ia menegakkan tubuhnya lalu berjalan pelan ke arahnya kali ini dengan langkah jelas agar tidak ada lagi insiden.
Siaga, Eva menegakkan bahu, bersiap kalau-kalau ia perlu mengayunkan payungnya lagi.
Phillips mengangkat kedua tangannya ke udara. Menunjukkan itikad baik bahwa ia datang dengan damai.
“Tadi aku menunggumu pulang di depan perpustakaan.”
           “Okay that’s not creepy at all,” batin Eva.
           “Aku ingin bicara denganmu.”
Eva menaikkan alisnya. “Tentang apa?”
Phillips terdiam. Setelah menurutnya aman, ia menurunkan kedua tangannya. Jemarinya mengepal. Ia terlihat ragu untuk berbicara. Takut kalau perkataannya akan memperburuk keadaan dan membuat  jarak di antara mereka berdua semakin jauh. Lalu satu kata jatuh dari bibirnya, pelan, nyaris tidak terdengar. “Maaf.”
Dunia tiba-tiba terasa sunyi.
Bahkan angin berhenti bergerak.
Eva mengerjap. Sekali. Dua kali.
“Apa?”
Phillips menarik napas panjang. “Maaf karena aku salah menuduhmu waktu itu. Aku terlalu terburu-buru. Maaf karena aku terlalu egois dan mudah emosi. Seharusnya aku bicara denganmu terlebih dahulu. Tidak seharusnya aku memecatmu dengan kasar seperti itu.”
Eva masih terdiam dan berusaha mencerna penjelasan Phillips yang panjang dan tanpa jeda. Butuh beberapa menit sampai akhirnya Eva berhasil mengambil inti pokok perkataan Phillips yang terucap dalam satu tarikan napas itu.
“Aku mengerti kalau kau membenciku.”
Eva memelototinya, menimbang apakah ini jebakan psikologis atau bukan. Ia takut ini adalah metode licik untuk membuatnya merasa bersalah. Tapi dilihat dari ekspresi wajah Phillips yang terlihat sedih dan merasa bersalah, Eva tahu bahwa laki-laki itu berkata jujur. Lalu ia menghela napas panjang.
“Aku tidak benci,” gumamnya akhirnya. “Aku hanya marah dan kecewa.”
Phillips menunduk sedikit. “Aku mengerti.”
Keduanya terdiam. Hanya lampu jalan yang berkedip pelan seperti saksi bisu percakapan yang terlambat terjadi ini.
Akhirnya, Eva menunjuk memar di lengannya. “Kau harus mengompresnya dengan es.”
Phillips mengangguk.
“Maaf aku tadi terlalu brutal memukulmu dengan payung.”
“Aku layak mendapatkannya.”
Eva mendecak. “Jangan bilang begitu. Itu membuatku merasa seperti orang jahat.”
“Eva,” jawabnya pelan, “kau baru saja hampir mematahkan lenganku dengan payung sampai bengkok. Orang baik pasti akan menawariku untuk mampir ke rumah lalu mengobati lukaku.”
Eva mengangkat payungnya refleks. Ia menyesal sudah merasa bersalah karena memukul mantam majikannya itu.
Phillips langsung mengangkat tangannya lagi dan mundur selangkah. “Okay! Aku diam!”
Eva akhirnya terkekeh pelan. Tawa kecil, tapi nyata.
Melihat itu Phillips pun ikut tersenyum. Ada guratan lega di wajahnya. Seharusnya dari awal dia memilih jalan jujur dan tidak berbelit-belit seperti tadi siang. Dia yang salah karena merasa ada yang hilang setelah kepergian Eva. Mungkin memang terlalu berlebihan menuduh Eva telah “mencuri” hatinya.
Phillips sadar keputusannya nekat menyusul Eva ke kota adalah tindakan yang didasari karena dia terlalu pengecut. Tidak berani menghadapi dirinya yang ternyata mulai jatuh hati dengan orang asing yang hanya tinggal beberapa beberapa waktu di manor Alastair. Bahwa kepergian Eva membuat dirinya merasa kesepian dan kebingungan adalah hal yang baru untuknya.
Malam itu, di jalan sepi yang dingin dan lembab sesuatu berubah. Meski suasananya masih mencekam karena minim pencahayaan tapi kedua orang yang sedang berhadapan itu tidak lagi secanggung sebelumnya. Phillips merasa pengorbanan lengannya tidak sia-sia, memar dan nyaris patah tulang sepadan dengan melihat Eva tersenyum lagi.
Phillips menatap Eva sekali lagi. “Bolehkah aku mengantarmu pulang?”
Eva menimbang. Payung bengkoknya menatap balik dengan getir lalu ia mengangguk pelan. Ia masih marah dengan Phillips yang menduganya mata duitan dan memecatnya tanpa penjelasan. Insiden siang ini di perpustkaan juga mengusiknya. Mungkin Phillips sudah lupa tapi baru beberapa hari yang lalu dia bercanda soal menyatakan perasaanya padanya. Membuat Eva seperti orang bodoh dan casually menyebutnya bercanda.
Phillips melihat keraguan di mata Eva. Dengan nada tulus ia kembali memohon. “Aku mohon. Ada hal lain yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Eva menunduk sedikit, hatinya masih berat. Tapi ia bukanlah tipe yang pendendam. Phillips terlihat sangat menyesali perbuatannya.
“Baik, tapi kau harus jalan di depan. Aku masih trauma. Lagipula aku yakin kau sudah tahu di mana alamat apartemenku kan?”
Phillips tersenyum malu. Ia ketahuan. Jelas ia datang ke seini berbekal file Eva yang dimiliki John, Menggaruk leher belakangnya pelan, Phillips mulai mengayunkan kakinya perlahan, kali ini ia berjalan satu langkah di depan Eva.
Mereka berjalan dalam diam. Tapi diam yang berbeda dari sebelumnya. Diam yang tidak lagi terasa asing. Diam yang mengingatkan hari-hari di mana mereka berdua banyak menghabiskan waktu bersama ketika di manor Alastair. Diam yang nyaman dan terasa dekat.