My Boyfriend Is A Ghost

zozozo 🌷🌷🌷🌷🌷
Chapter #2

Manor Alastair

Ketika Eva menengok lebih dalam, mengamati jalanan gelap di balik pagar besi tersebut. Ia sedang berusaha untuk sama sekali tak menghiraukan kenyataan bahwa pagar besi tadi terbuka secara misterius. Saat ini otaknya tengah sibuk memproses jalanan panjang sejauh 2 km menuju ke bangunan manor Alastair yang berada di hadapannya sekarang. 

“Ayo Eva kamu pasti bisa!” Bisik Eva pada dirinya sendiri.

Masih berjalan dengan waspada, Eva menyadari cuaca saat ini sedang mendung, bahkan Ia bisa merasakan satu dua tetes rintik hujan yang mulai turun dan membasahi tubuhnya. Eva meruntuki dirinya sendiri karena dengan bodohnya lupa membawa payung miliknya. Maka Ia putuskan untuk segera melanjutkan perjalanannya sebelum Ia nantinya akan berakhir dengan basah kuyub.

Eva kemudian kembali mengamati jalanan gelap di hadapannya. Dari yang Ia dapat lihat, hanya ada sekitar empat sampai lima lampu yang menerangi jalanan setapak itu. Lampu berwarna oranye itu pun dalam keadaan berkedip.

Eva berpikir bahwa perjalanannya akan bertambah sempurna jika Ia menemukan satu atau dua makam. Mata tajamnya lalu Ia sapukan ke arah kanan dan kirinya, mengamati beberapa bongkahan batu besar yang berjajar rapi dengan pahatan nama yang sulit Ia baca.

“Ah! Sempurna!”

Seperti apa yang sudah Ia pikirkan sebelumnya, tak akan mungkin manor seseram ini tak memiliki makam di pekarangannya. Sungguh klise.

Eva kemudian memutuskan untuk fokus menapaki jalanan setapak di depannya. Tangan kirinya Ia eratkan pada pegangan tas ransel sementara tangan kanannya terlihat kerepotan membawa koper besar miliknya.

Seingatnya di film-film horor yang sering Ia tonton, jika Ia malah berlari di tengah-tengah jalanan gelap seperti ini, Ia justru akan dikejar mati-matian oleh makhluk menakutkan yang bisa saja muncul dari balik pepohonan. Jadi, sebisa mungkin Eva bersikap tenang dan berpikir bahwa tempat ini tidak se-menakutkan itu.

Kriieeetttttt

Langkah Eva terhenti. Tanpa harus berbalik, Ia sudah tahu dari mana asal suara tersebut. Yup, pagar besi di belakangnya kini tengah dalam proses menutup dengan decitan besi karatan yang terdengar saling beradu. Menimbulkan suara nyaring yang mampu menyayat gendang telinga Eva. 

Eva bisa saja berbalik dan memeriksa pagar besi tersebut. Barang kali Ia bisa menemukan siapa orang yang membuka dan menutup pagar untuknya tadi. Tapi Eva sudah terlalu lelah dengan perjalanannya menaiki kereta selama hampir delapan jam dan hampir satu jam berada di dalam taksi. Sehingga Ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Anggap saja tubuhnya sedang malas kalau harus menghadapi hantu atau semacamnya.

Lampu pertama terlewati. Kedua, ketiga, kemudian lampu keempat dan terakhir lampu kelima. Eva lalu berhenti sejenak dan melihat ke jalanan setapak di belakangnya.

“Kerja bagus Eva!” seru Eva pada dirinya sendiri. 

Eva berhasil sampai ke ujung jalan setapak itu dengan lancar. Meskipun Ia sangat yakin jika tadi sempat tak sengaja melihat dua buah bola mata berwarna merah yang melayang-layang di antara pepohonan. Tapi semangat Eva untuk sampai di ujung jalan benar-benar membuat Eva tak menghiraukan itu semua.

Terus melangkahkan kaki lelahnya, Eva kemudian tersadar jika Ia telah berhasil sampai di depan bangunan yang Ia cari-cari sedari tadi.

Manor Alastair.

Bangunan megah dengan empat pilar yang berdiri kokoh menyangga atap terasnya itu nampak tak terawat. Cat bangunan yang didominasi warna putih itu pun nampak mengelupas di beberapa bagian. Eva juga mengamati bagian atas tembok bangunan yang sebagian tertutupi akar dan dedaunan hijau.

Jika saja ini tahun 1800-an, Ia yakin rumah ini akan terlihat jauh lebih baik. Saat ini saja Eva masih bisa merasakan aura kemegahan dari bangunan tua di hadapannya, bisa dibayangkan bagaimana jayanya bangunan ini ketika itu. 

Eva meneruskan perjalanannya kembali. Mengamati daerah sekitarnya yang temaram. Dengan berat hati akhirnya Ia menapaki satu persatu anak tangga yang membawanya menuju ke teras depan manor Alastair. Banyak akar merambat dan daun-daun musim gugur yang berjatuhan di sepanjang anak tangga, membuat Ia penasaran kapan terakhir kali rumah ini dibersihkan. 

Ketika sampai di ujung tangga, Eva bisa melihat kalau di sisi kiri bangunan terdapat sebuah kolam yang berisi air keruh dengan banyak daun kering yang menutupi hampir seluruh permukaannya. Terlihat sangat tidak terawat. Eva yakin tidak akan ada orang waras yang ingin berenang di kolam tersebut kecuali jika mereka ingin keluar dengan penyakit gatal-gatal.

“Nona Eva?”

“Hah!” Eva yang tersentak kaget karena tak menyangka akan ada seseorang yang memanggil namanya itu pun nyaris tergelincir dari anak tangga paling atas, beruntung Ia segera berpegangan pada pilar besar di dekatnya.

Ternyata sedari tadi Ia terlalu terhanyut dengan kolam kotor di samping bangunan besar itu hingga tak menyadari jika seorang pria telah membuka pintu dan berdiri di hadapannya.

“Nona Eva Cecilia?”

“Ah ya ya ... Saya Eva, Evalia Brogh Cecilia,” jelas Eva dengan jantung yang masih berdetak tak karuan.

Kehadiran pria tua berjas formal di depannya ini bahkan lebih mengagetkan dari semua yang telah Ia alami semenjak kedatangannya di kota MidWare. Dengan pandangan waspada, Eva menjatuhkan pandangannya pada kaki pria tua dan mendapati kedua kaki berbalut sepatu pantofel mengkilap itu menapak pada lantai.

“Syukurlah Tuhan ...” desis Eva pelan nyaris tak terdengar. Ia takut pria tua itu akan merasa tersinggung jika sampai mendengar Eva yang berterima kasih kepada Tuhan ketika mengetahui bahwa pria tua itu bukan hantu seperti yang Ia kira.

Lihat selengkapnya