Eva terpaku. Laki-laki yang mengenakan setelan jas formal lengkap dengan dasi itu berjalan begitu saja melewatinya. Sama sekali tak menghiraukan Eva yang yang berdiri tepat di ujung tangga. Seakan-akan seperti tak melihat kehadiran Eva yang tengah menatapnya dengan intens.
Bertanya-tanya apa mungkin tuan muda yang dimaksud oleh John adalah laki-laki yang baru saja melewatinya. Dari perawakannya, Ia dapat melihat laki-laki itu bertubuh tinggi dan berbadan tegap. Wajahnya terlihat sangat tampan nyaris sempurna dengan rambut hitam legam yang tersisir rapi ke belakang.
Eva berani bersumpah, bahwa selama dua puluh tiga tahun hidupnya, baru kali ini Ia melihat laki-laki setampan itu. Wajah laki-laki yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya itu mengingatkannya pada film Twilight yang sering Ia tonton dulu. Mungkinkah laki-laki itu masih ada hubungan darah dengan keluarga Cullen? Ah, mana mungkin. Keluarga Cullen kan vampir.
Yang membuat Eva penasaran jutru karena laki-laki itu sama sekali tak menyadari kehadiran Eva? Seakan-akan Eva tak terlihat. Harusnya kalau Ia melihat kehadiran Eva, setidaknya Ia akan menyapa Eva, atau bertanya siapa Eva, atau minimal melirik Eva sedikit saja. Tapi ini tidak. Laki-laki berkulit pucat itu hanya menatap ke depan, seakan acuh dengan keberadaan Eva yang padahal berdiri cukup dekat dengannya.
“Apa dia mengira aku adalah hantu? Atau jangan-jangan dia?”
Mata Eva kemudian megikuti ke mana arah pria tadi berjalan. Setelah melewatinya, pria misterius itu terlihat menuruni tangga dan berjalan ke arah ruang makan.
“Kakinya napak kok di lantai. Berarti dia bukan hantu kan? Masak iya ada hantu secakep itu? Hantu-hantu yang biasa ada di film kan selalu terlihat jelek, mengerikan atau bersimbah darah. Mana ada hantu yang mengenakan gel rambut seperti laki-laki tadi?” tanya Eva seraya menggelengkan kepalanya pelan. “Syukurlah kalau dia ternyata bukan hantu seperti yang aku kira.”
Setelah merasa tenang, gadis berambut ikal itu lantas kembali teringat perihal tujuannya untuk menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu jati ini. Ia harus segera mencari kamarnya dan bersiap untuk mengikuti acara makan malam pertamanya dengan pemilik manor ini. Ia tidak boleh terlambat, apalagi kata John tadi, tuan muda Alastair sangat tidak menyukai orang yang datang terlambat. Terlebih ini adalah hari pertama Eva ikut makan malam bersama dengan keluarga Alastair. Dia harus berusaha mengambil hati majikannya. Bagaimana pun juga kesan pertama begitu penting.
Tak lama setelah Eva menaiki anak tangga yang berjumlah belasan itu, Eva berbelok ke kanan dan memasuki sebuah lorong yang cukup lebar. Dari ujung lorong itu Eva dapat melihat kamar yang John maksud tadi. Kamar yang akan ditinggalinya selama Ia berkerja di manor ini terletak di sebelah kanan, pintu paling ujung.
Dengan sedikit kesulitan, Eva mencoba menyeret kopernya di atas karpet tebal yang tergelar di seluruh lantai sepanjang lorong. Roda-roda kopernya sesekali tersangkut karpet mahal berbahan beludru tersebut, membuat sebagian karpet itu kini nampak kusut.
Eva kemudian berdiri tepat di depan sebuah pintu besar berwarna putih. Di pintu berbahan dasar kayu itu terdapat sebuah gagang pintu berbentuk bulat dengan bentuk kepala singa yang menganga ke arahnya. Eva sedikit bergidik ngeri ketika harus memutar kunci yang sudah tertancap di area mulut singa itu, Eva harus melewati deretan gigi-gigi singa yang tajam dan runcing jika Ia ingin masuk ke dalam kamarnya.
“Kenapa harus memasang gagang pintu semengerikan ini sih? Apa manfaatnya? Dilihat juga sama sekali tidak estetis untuk dipasang di depan kamar,” gerutu Eva kesal. Bagaimana jika suatu hari nanti Ia sudah sangat mengantuk dan ingin segera masuk ke dalam kamarnya? Bisa-bisa tangan mulus Eva tergores gigi-gigi tajam singa ini.
Perlahan jemari Eva berhasil memutar kunci kamarnya, tangannya yang kurus kemudian bergegas membuka pintu berukir indah tersebut. Hanya untuk masuk ke dalam kamarnya saja Eva sudah berkeringat seperti ini. Gadis itu lalu memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar baru yang akan ditinggalinya untuk setahun ke depan nanti.
Eva memperhatikan kamar bercat putih yang ada di hadapannya saat ini. Ruangan dengan kertas dinding berwarna emas ini terlihat begitu mewah dengan beberapa lukisan pemandangan yang menghiasi seluruh temboknya. Di sudut ruangan terdapat sebuah meja nakas kecil yang dapat Ia gunakan untuk merias diri.
Matanya kemudian Ia sapukan pada lemari besar menjulang yang berada tak jauh dari jendela kamarnya. Kehadiran lemari besar tersebut membuat Eva menatap miris ke arah tas ransel dan koper kecil yang Ia seret sedari tadi.
“Ya Tuhan ... Mau aku isi apa lemari sebesar itu nanti? Barang bawaanku saja tidak sebanyak itu!” runtuk Eva pada dirinya sendiri. Merasa bodoh karena seharusnya Ia membawa lebih banyak baju untuk Ia masukkan ke dalam lemari pakaian berukuran raksaksa itu.
Eva lalu melanjutkan perjalanannya memasuki ruangan bernuanasa putih tersebut. Sebuah kasur berukuran queen size langsung mencuri perhatian gadis berambut merah itu.
“Kasur seukuran queen size hanya untuk perawat seperti ku? Istimewa sekali. Apa kamar ini tidak terlalu mewah? Apa jangan-jangan aku salah masuk kamar? Tapi sepertinya aku sudah mengikuti semua arahan yang diberikan John tadi,” batin Eva bingung seraya mengerutkan alisnya.
Setelah mengamati kamar barunya ini Ia jadi sedikit ragu kalau ini adalah kamar yang dimaksud oleh John tadi. Kamar ini benar-benar mewah. Belum lagi saat ini pandangannya tertaut pada sebuah pintu besar yang terdapat di dekat lemari yang langsung mengantarkannya ke balkon kamar. “Wow, bahkan kamar ini juga ada balkonnya? Sepertinya aku memang salah masuk kamar.”
Dengan langkah pelan Eva berjalan menuju ke balkon kamar itu. Sebuah tralis berukir bunga sebatas pinggang terlihat berdiri kokoh di ujung balkon. Dari atas balkon lantai dua ini, Eva dapat melihat pemandangan hutan yang dipenuhi dengan pepohonan pinus lebat yang tadi sempat Ia lewati ketika akan menuju ke manor Alaistair. Dari sini Eva juga dapat melihat beberapa makam yang terletak cukup jauh di dalam hutan. Anehnya makam-makam ini terlihat sedikit berbeda dengan makam yang Ia temukan di dekat pagar masuk tadi. Makam-makan yang Ia lihat saat ini terlihat masih bagus dan seperti baru. Terlihat sangat terawat, berbanding terbalik dengan beberapa makam yang Ia lewati tadi.
“Rumah atau pemakaman sih? Banyak banget kuburannya,” Eva berdecak lalu berbalik dan berniat untuk segera bersiap-siap untuk mengikuti acara makan malam yang akan dimulai sebentar lagi.
Ketika akan keluar kamar, Eva melihat sebentar pantulan tubuhnya di cermin yang menempel pada lemari putih berukir emas tersebut dan baru menyadari bahwa Ia tidak mungkin turun ke bawah untuk bertemu dengan majikannya dengan pakaian setengah basah seperti yang Ia kenakan saat ini. Eva lupa kalau tadi sempat turun hujan meskipun hanya gerimis, tapi Ia tetap basah kuyub. Ia pun memutuskan untuk berganti pakaian dengan pakaian lain yang tadi Ia bawa.
Membuka tas kopernya, Eva berdoa dalam hati, semoga Ia kemarin membawa seluruh pakaian formal yang Ia punya, atau setidaknya pakaian yang terlihat layak Ia gunakan untuk bekerja di manor ini.
“Bahkan pakaian formalku pun tetap terlihat biasa saja,” celetuk eva setelah melihat isi kopernya. Pakaian yang Eva kenakan selama ini memang tidak ada yang mewah atau pun mahal, semuanya dari toko baju bekas dan beberapa bahkan sudah tak layak dipakai, tapi mau bagaimana lagi hanya itu yang Ia punya.
Setelah selesai berganti pakaian di dalam kamar mandi yang berada di kamar barunya tersebut, Eva segera keluar dari dalam kamarnya dan langsung berlari menuju anak tangga yang akan membawanya ke lantai satu dengan tegesa-gesa.