“Tidak usah mencarinya Eva, Phillips memang suka begitu, suka menghilang seenaknya,” ujar nenek Jane santai yang malah membuat bulu kuduk Eva meremang.
“Suka menghilang?” batin Eva dalam hati.
Kedua alis Eva saling beradu. Ia bingung harus takut atau malah penasaran kenapa Phillips terkesan sangat misterius. Kalau dipikir-pikir lagi, insiden minyak wangi tanpa wujud saat Ia bersama dengan John tadi, keberadaan Phillips di ruang makan yang tiba-tiba muncul lalu tiba-tiba saja menghilang. Ditambah lagi, Eva baru ingat, minuman berwarna merah pekat yang tadi Phillips minum nampak seperti darah.
“Apa mungkin Phillips adalah vampir atau jangan-jangan Phillips adalah hantu?” batin Eva. “Apa ini yang John maksud dengan ‘menghormati keluarga Alastair yang telah meninggal’?”
“Hihihihihi ... ”
Eva menoleh horor ke arah nenek Jane yang tertawa terkikik sembari melirik padanya yang masih asyik melamun. Ternyata nenek Jane dari tadi sedang sibuk memperhatikan Eva yang terlihat kebingungan.
“Nyonya? Anda baik-baik saja?” tanya Eva dengan suara serak.
Jujur suara tawa yang baru saja Ia dengar dari wanita tua di depannya itu terdengar sangat mengiris telinga. Tawanya persis seperti suara kikikan hantu perempuan yang biasa Ia tonton di film-film horor kesukaannya.
“Tentu nenek baik-baik saja, justru kau yang terlihat tidak baik-baik saja. Jangan khawatir Phillips akan muncul besok pagi saat sarapan. Sekarang tugasmu adalah membantu ku ke kamar dan membantu ku untuk bersiap tidur, oke Eva?”
Eva menjawab dengan menganggukkan kepalanya cepat-cepat. Dengan sangat telaten, Eva menggeser tuas yang berada di sebelah kanan kursi roda yang biasanya digunakan untuk menghentikan laju kursi roda agar aman ketika tidak dijalankan.
Berpindah ke belakang kursi roda, Eva kemudian memegang kendali kursi roda dan menarik kendali tersebut bermaksud untuk memutar kursi roda itu.
“Eva, kamarku ada di lorong sebelum dapur lalu belok kiri.”
“Baik nenek Jane,” jawab Eva patuh seraya mendorong kursi roda mahal itu untuk melaju lebih jauh.
Eva mengikuti arahan majikannya itu, dengan perlahan Ia keluar dari area ruang makan dan berjalan menuju ke arah yang tadi dimaksud oleh wanita berambut putih itu. Setelah menemukan ruangan yang Eva yakini adalah dapur, Eva langsung mengarahkan kursi roda tersebut menuju ke lorong panjang yang tepat berada di sebelahnya.
“Berapa umurmu Eva?” tanya nenek Jane ketika mereka baru memasuki lorong yang berdinding marmer itu.
“Dua puluh tiga tahun nek.”
“Oh, kau seumuran dengan Phillips ternyata. Sudah menikah?”
Eva terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab dengan syara lirih, “belum nenek Jane.”
Eva merasa cukup terkejut ketika mendengar dari nenek Jane bahwa ternyata Phillips seumuran dengannya. Laki-laki dengan bau minyak wangi yang menusuk hidung itu terlihat lebih tua dari umurnya. Mungkin itu juga karena Phillips selalu menggunakan setelan jas formal ke mana pun sekalipun di dalam rumah.
“Oh, statusmu juga sama dengan Phillips ternyata. Kalau pacar? Kau sudah punya pacar Eva?”
“Saya juga belum punya pacar nenek Jane.”
“Oh, Phillips juga belum punya pacar. Menurutmu Phillips ada peluang atau tidak?”
Pertama, Eva merasa tidak perlu mengetahui apa status dari Phillips, karena Eva tidak tertarik dengan laki-laki jutek itu. Kedua, apa yang nenek Jane maksud dengan peluang? Peluang jadi pacar Eva kah? Atau apa?
“Bagaimna Eva menurutmu Phillips masih ada peluang atau tidak?”
“Hah apa nenek Jane? Peluang?” Eva nyaris terjungkal setelah mendengar pertanyaan tidak masuk akal dari nenek Jane yang tidak Ia duga sama sekali itu. “Maksud nenek peluang itu apa ya?”
“Menurutmu Phillips ada peluang atau tidak untuk memiliki pacar? Aku bermaksud untuk menjodohkannya dengan salah satu anak dari kerabat keluarga Alastair yang ada di Prancis.”
“Oh ...” balas Eva sedikit kecewa. Ia tidak tertarik dengan Phillips, tapi bukan berarti Ia tidak mau dijodohkan dengan laki-laki setampan Phillips.
Eva mengerucutkan bibirnya, masih merasa malu karena sempat berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana Ia bisa dengan bodohnya mengira bahwa majikannya itu akan dengan senang hati menjodohkannya dengan Phillips yang memiliki paras setampan pangeran dari negeri dongeng?
“Pasti ada nenek Jane. Dengan wajah seperti itu, Phillips pasti bisa segera mendapatkan jodoh,” jawab Eva acuh.
Nada suaranya Ia buat sedemikian rupa sehingga Ia tidak terdengar salah tingkah karena malu telah mengira akan dijodohkan dengan Phillips. Eva merasa sangat bodoh dengan pemikirannya barusan.
“Bikin malu!” batin Eva kesal pada dirinya sendiri. “Lagipula siapa yang mau dijodohkan dengan hantu? Sekalipun hantunya setampan tuan muda Phillips?”
“Cucuku itu memang lumayan tampan. Tapi sikapnya benar-benar dingin. Hahaha ... apalagi dengan perempuan yang baru Ia kenal. Aku tidak tahu mengapa cucuku bisa bersikap seperti itu. Mungkin sudah memang karena tabiatnya atau karena masa lalunya dulu.”
“Iya nek,” Eva tidak tahu harus menimpali apa pernyataan dari nenek Jane. Ia takut kalau sampai Ia ikut-ikutan setuju dengan pernyataan nenek Jane bahwa Phillips memang begitu dingin, maka Ia akan langsung dipecat dan diusir dari manor ini oleh tuan muda Phillips.
“Apa menurutmu dia juga tampan?” tanya nenek Jane lagi.
“Aduh nenek kenapa bertanya yang aneh-aneh sih? Kan aku jadi bingung harus jawab apa? Masak aku mau bilang kalau Phillips itu jelek? Memang aku buta? Jelas-jelas Phillips setampan itu,” batin Eva lagi. Sepertinya Eva harus semakin mempercepat langkah kakinya agar nenek Jane segera sampai di kamar dan bisa menghentikan pertanyaan-pertanyaan aneh ini.