My Boyfriend Is A Ghost

zozozo 🌷🌷🌷🌷🌷
Chapter #24

Back Home

Bye nek.” Eva berujar pelan lalu membalas lambaian tangan nenek Jane dengan senyum terpatri di wajahnya.

...

Eva memandangi pemandangan hutan lebat di sisi kiri jalanan yang sedang Ia lalui saat ini. Begitu banyak kenangan indah yang Ia lewati dua minggu ini. Ia dan tuan muda Phillips sering menghabiskan waktu bersama naik dan turun jalanan berliku ini untuk mencapai perpustakaan milik keluarga Alastair.

Gadis yang hatinya sedang bersedih itu menyandarkan kepalanya pada jendela mobil lalu memejamkan matanya sebentar. Berusaha menahan air mata yang hampir keluar dari matanya. Hatinya masih sakit karena dipecat secara sepihak oleh tuan muda Phillips. Ia kira hubungan mereka baik-baik saja, dan Eva sudah mengerjakan perkerjaannya dengan sangat baik. Sama sekali tidak ada alasan untuknya bisa dipecat secara tidak hormat seperti ini.

“Kau masih ingat namamu kan nona?”

Sopir taksi itu tiba-tiba membuka suaranya dan membuat Eva terpaksa kembali membuka kedua matanya. Gadis itu masih menyandarkan kepalanya pada jendela taksi dan menjawab malas pertanyaan aneh dari sopir itu. “Yup.”

“Kalau berapa umurmu?” tanya si sopir taksi lagi.

“Masih teringat dengan sangat jelas,” jawab Eva masih dengan malas-malasan.

“Kalau alamat rumahmu?”

“Aku masih ingat semuanya.”

“Wow. Aku bertaruh dengan para sopir taksi di stasiun ketika kau datang kemari satu bulan yang lalu. Aku salah, kau ternyata berhasil tinggal di sana lebih dari tiga hari. Sorry for underestimated you girl.”

Nah, it’s fine. Sejujurnya semua orang yang bekerja di manor itu juga meremehkanku. Mereka semua menganggapku tidak akan bertahan lama di sana. Jadi kau bukan satu-satunya orang yang berpendapat seperti itu tentangku.”

“Apa benar desas-desus yang dikatakan warga di kota kalau manor Alastair itu berhantu?”

Eva lama terdiam. Ia ingat bahwa dikontrak kerjanya yang dulu, John melarangnya untuk memberikan bahan gosip kepada masyarakat di luar manor, tapi Eva tahu kalau Ia tak lagi bekerja di sana. Jadi, dia tidak akan mendapat masalah karena itu.

“Yup.”

Eva kembali memejamkan matanya. Sopir itu terdiam ketika melihat Eva dari kaca spion. Sepertinya sopir taksi itu tahu bahwa Eva sedang tidak ingin diajak bicara. Perjalanan kembali berlanjut dengan keduanya yang hanya saling diam.

...

Cuaca sangat dingin saat ini. Angin kencang juga kerap berhembus membawa dedaunan kering berwarna cokelat di sekitar lahan parker stasiun terbang kesana kemari. Eva baru saja sampai di depan stasiun Prum. Setelah menurunkan Eva dan koper bawaannya, sopir taksi berkepala botak itu berpamitan dengannya lalu pergi meninggalkan Eva karena harus mengantar seorang wanita yang baru saja turun dari kereta api

Eva berhenti sejenak. Mengamati jalanan sepi di depannya. Matanya kemudian mengikuti sepasang pria dan wanita yang terlihat menyeberang lalu berjalan masuk ke kedai sarapan yang terletak tak jauh dari stasiun. Kedai sarapan yang biasa Ia dan tuan muda Phillips kunjungi.

“Huft... Sudahlah Eva, kau harus bisa move on!“ Eva membuang napasnya lalu berbalik dan segera masuk ke stasiun Prum, namun langkahnya terhenti ketika melihat mobil milik tuan muda Phillips melaju kencang di depannya menuju ke arah jalanan yang baru saja Ia lewati.

“Hah, bukankah itu mobil tuan muda Phillips? Sedang apa dia di-ah tidak mungkin Eva. Jangan kege-eran, tuan muda Phillips tidak mungkin ada di stasiun untuk menemuimu! Mungkin kau tadi hanya salah lihat, atau mungkin tuan muda Phillips memang tak sengaja lewat sini!” Eva kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam stasiun Prum yang mulai nampak ramai oleh pengunjung.

Eva berjalan pelan ke arah loket. Pikiran Eva masih tidak fokus sama sekali. Banyak pertanyaan yang berlalu-lalang di kepalanya. “Apa separah itu kesalahanku sampai-sampai tuan muda Phillips benar-benar tidak mau melihatku? Kabur dari manor pagi-pagi sekali lalu baru kembali setelah aku pergi? Sebenarnya apa yang telah aku perbuat sampai dia menghindariku seperti ini? Bahkan berpamitan saja tidak!” tanya Eva pada dirinya sendiri.

Eva menghapiri satu-satunya penjaga loket yang ada di stasiun Prum.

“Tujuan?”

“Satu tiket ke Los Angeles please,” kata Eva setelah Ia berada tepat di depan loket.

“Satu tiket ke Los Angeles,” ulang penjaga tiket seraya menyerahkan selembar tiket pada Eva. “Lima belas dollars.”

Eva merogoh saku sweaternya, mengambil tiga lembar uang lima dollars lalu meletakkannya di atas meja loket. “Terima kasih.”

Setelah mendapatkan tiket kepulangannya, Eva masuk ke dalam peron untuk duduk dan menunggu kereta yang akan membawanya pulang ke Los Angeles. Eva lalu mengambil ponsel bututnya dan mencari daftar kontak pemilik apartemen tempatnya dulu menyewa kamar.

“Sepertinya aku sudah harus siap untuk kembali ke kehidupanku yang dulu… “

...

Thanks,” Eva menutup pintu taksi yang telah membawanya dari stasiun ke apartemennya yang hanya berjarak 30 menit. Apartemen yang Ia tinggali sebelum Ia pergi ke kota MidWare dan bekerja di manor Alastair. Tempat Ia dan ibunya banyak menghabiskan waktu bersama selain di ruamh sakit tempay ibunya dirawat.

Gadis berambut merah itu menghembuskan napasnya panjang ketika melihat bangunan tua di belakangnya. Gedung dengan cat berwarna cokelat yang sudah mengelupas di sana-sini itu terdiri dari 10 lantai. Dari total 50 kamar yang disewakan, saat ini hanya ada 30-an kamar yang bisa dihuni karena yang lainnya sudah tak lagi layak untuk dihuni manusia. Entah itu karena ada yang rusak atau karena ada bekas kebakaran yang belum pemilik apartemen bersihkan. Tidak ada yang bisa Eva banggakan dari gedung reot ini selain harganya yang sangat murah.

Harga sewanya hanya 300 dollars setiap bulannya. Nominal yang sangat bersahabat untuk Eva. Ia sampai rela harus menempuh perjalan cukup jauh menuju ke tempat kerjanya. Paling tidak gadis bertubuh kurus itu harus berjalan kaki selama 35 menit untuk mencapai perpustakaan tempat Ia bekerja dulu.

Home sweet home,” ujar Eva mencoba menyemangati dirinya sendiri. Setelah Ia menerima pekerjaan di manor Alastair, Ia memang tetap membayar uang sewa apartemennya karena memang apartemen ini adalah satu-satunya rumah yang Ia miliki. Eva takut jika Ia keluar dari pekerjaannya di manor Alastair atau mungkin dipecat (seperti keadaannya saat ini), maka Ia tidak memiliki rumah untuknya pulang. Paling tidak Ia kini tak harus repot mencari tempat tinggal baru setelah kepulangannya dari kota Midware.

Dengan langkah berat, Eva menarik tas koper miliknya lalu berjalan memasuki lobi apartemen yang selalu kosong itu. Eva membuka pintu berkarat di depannya dengan susah payah. Tubuh dan pikirannya sudah sangat lelah karena pagi ini Ia harus menerima kabar pemecatannya secara sepihak dan harus duduk berjam-jam di dalam kereta api.

“Pintu ini masih sama seperti bulan lalu. Macet. Apa mereka tidak ada rencana untuk memperbaikinya?” tanya Eva kesal kepada dirinya sendiri.

Lihat selengkapnya