Chapter 25
“Eva apa kau baik-baik saja?” tanya nenek Jane yang masih belum mendapatkan respon dari gadis berambut merah di depannya.
Sepertinya Eva masih belum bisa sepenuhnya mencerna penjelasan dari nenek Jane mengenai alasan mengapa tiba-tiba tuan muda Phillips memecatnya. Terlebih karena menurut Eva alasan tuan muda Phillips sangatlah kekanak-kanakan.
“Ah, ternyata karena alasan ini tuan muda Phillips begitu marah dan tiba-tiba memecatku begitu saja?” ucap Eva dalam hati. “Jadi tuan muda Phillips salah paham dan menganggap ku sebagai wanita mata duitan… “
“Eva?” kali ini nenek Jane memberanikan diri mendekati Eva dan meletakkan telapak tangannya yang dingin ke pipi kiri Eva. “Are you alright dear?”
“Huh?” Eva tersentak kaget saat tangan dingin milik nenek Jane menyapu wajahnya. “Nenek!” dan karena wajah nenek Jane yang hanya berjarak sejengkal dari wajah Eva membuat gadis bertubuh kurus itu langsung reflek memundurkan tubuhnya.
Untung saja posisi Eva saat ini sedang duduk di lantai, kalau tidak Eva pasti sudah terjungkal ke belakang saking kagetnya dengan tangan dingin nenek Jane yang bersentuhan langsung dengan kulitnya. “Jangan tiba-tiba menyentuhku begitu nek, tangan nenek dingin seperti es,” ucap Eva seraya bangkit dari tempat Ia semula duduk dan berjalan ke arah dapur kecilnya.
“Jangan menghindari pertanyaan nenek, Eva. Apa kau baik-baik saja?”
Eva menghentikan langkahnya di depan sink dan menyalakan keran wastafel, berpura-pura mencuci tangannya yang tidak kotor. Berharap suara keran air yang Ia nyalakan bisa membungkam suara nenek Jane yang kini terbang dan mengekornya sampai ke dapur.
“Ev-“
“Aku baik-baik saja nek,” jawab Eva seraya mengibas-ngibaskan tangannya yang basah, mematikan keran, lalu mengelapnya dengan handuk kering yang berada di dekat wastafel.
“Kau sama sekali tidak terganggu dengan Phillips yang memfitnahmu sebagai wanita mata duitan?” tanya nenek Jane dengan kedua alisnya yang saling bertautan dan mata yang melotot. Kalau Eva perhatikan, justru nenek Janelah yang terlihat lebih terganggu dengan perkataan yuan muda Phillips daripada dirinya sendiri. “Mata duitan Eva! Ma-ta-du-it-an!” ulang nenek Jane dengan menambahkan penekanan di setiap suku katanya.
“Kalau nenek ulang-ulang seperti itu jelas aku akan terganggu,” jawab Eva sembari sedikit memanyunkan bibirnya, tubuh rampingnya Ia sandarkan pada satu-satunya lemari dapur yang ada di belakangnya. Mata bulatnya Ia sapukan pada area dapur kecil miliknya kemudian Ia menangkap ada satu area di sudut ruangan yang masih perlu di sapu lagi. “Aku tidak bisa merubah pendapat Phillips tentangku nek karena memang niatku bekerja di manor Alastair adalah untuk mencari uang. Dia tidak salah.”
“Tapi tetap saja, apa yang dikatakan Phillips tentangmu tidak benar. Kau memang bekerja untuk mendapatkan uang, tapi bukan berarti dia bisa melabelimu dengan ‘wanita mata duitan’. Kalau kau memang mendapatkan uang dengan jumlah yang besar itu semua bukan salahmu!”
Eva menggelengkan kepalanya pelan lalu berujar santai sembari meraih sapu yang tergantung di dekat kompor, “tidak apa-apa nek. Aku sama sekali tidak keberatan jika benar Phillips mengira aku adalah wanita mata duitan. Sungguh. Aku tidak peduli. Lagi pula cucu nenek itu aneh sekali, mana ada orang yang tidak ingin dibayar atas kerja kerasnya? Apa dia pikir aku selama ini bekerja di manor Alastair dengan sukarela?”
Nenek Jane terlihat kaget dengan pertanyaan yang baru saja diajukkan oleh gadis berambut merah di depannya itu. “Perkataanmu ada benarnya juga Eva.”
Dengan santai, Eva berjalan ke sudut dapur yang masih terlihat kotor itu lalu berniat untuk menyapunya. Namun, gadis itu sedikit kesulitan karena nenek Jane kini berpindah posisi. Nenek berambut putih itu kini melayang di area yang ingin Eva sapu.
“Permisi nek, aku ingin membersihkan sudut itu. Nenek bisa minggir sebentar?”
“Eva.”
“Hem?” jawab Eva santai sembari mengayunkan sapunya pada lantai dapurnya. Eva sangat berkonsentrasi untuk menyapu lantai dapurnya, meskipun dapurnya kecil dan sederhana, Eva ingin ruangan kecil yang paling sering Ia kunjungi itu terlihat bersih dan terawat.
“Betul juga apa yang kau katakan Eva. Cucuku itu memang bodoh, wajahnya saja yang tampan jadi dia terlihat ‘pintar’,” jawab nenek Jane seraya mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan gerakan seperti tanda kutip ketika menyebutkan kata pintar untuk Phillips.
Eva tertawa melihat itu. Di dalam hatinya, Eva ingin sekali mengelak perkataan nenek Jane bahwa tuan muda Phillips sama sekali tidak tampan, tapi apa boleh di kata, tuan muda Phillips memang memiliki nilai plus di sector itu.
“Aku kadang tak habis pikir dengan jalan pikiran Phillips ck ck ck. Memang hanya kau saja Eva yang bisa mengerti isi kepala Phillips… Kau benar-benar menantu idaman…” sambung nenek Jane dengan nada yang semakin pelan di akhir kalimatnya.
“Aku akan berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja nenek katakan.” Setelah mengucapkan itu Eva lalu berjalan pelan untuk menggantungkan kembali sapunya pada gantungan di sisi tembok dapurnya.
Eva kemudian pergi meninggalkan nenek Jane yang sedang cengengesan sembari berputar-putar di sekitar dapur. “Sebaikanya nenek segera kembali ke manor Alastair atau cucu manja nenek itu bisa semakin kehilangan akalnya!” teriak Eva yang kini sudah memasuki kamarnya dan memutuskan untuk pergi tidur.
Gadis itu menutup pintu kamarnya lalu menguncinya. Merasa sedikit bodoh karena Ia tahu nenek Jane bisa dengan mudah menembus pintu kamarnya, tapi Eva berharap nenek Jane mengerti bahwa Eva sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu baik oleh manusia ataupun hantu sekalipun.
Eva merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur kecil sederhana miliknya. Berguling ke kiri lalu menutupi wajahnya dengan guling. Ia mencoba untuk merilekskan pikirannya dan tidur. Semua yang terjadi kepadanya hari ini benar-benar membuat pikirannya lelah. Eva kira setelah kembalinya Ia dari manor berhantu itu, Ia bisa kembali ke kehidupannya yang dulu. Menjadi Eva yang sebelumnya hanya memiliki satu tujuan yaitu mencari uang untuk membayar utang ibunya, bukannya malah dipusingkan dengan kehadiran hantu nenek Jane ataupun cucunya yang menyebalkan itu.
Harusnya Eva bisa merasa sedikit lebih santai karena sekarang Ia tak harus lagi bekerja dari pagi hingga malam untuk menyicil utang ibunya yang menumpuk. Tapi nyatanya sekarang Eva malah harus memikirkan mantan majikannya yang kini ‘mengahantuinya’ sampai ke apartemen lamanya.
Nope.
Eva sedang tidak membicarakan nenek Jane, gadis dengan nama tengah Cecilia itu sedang ‘dihantui’ oleh sesosok laki-laki tampan yang beberapa hari ini ‘dekat’ dengannya. Eva merasa harus menanda kutip kata ‘dekat’ karena Ia tahu tuan muda Phillips saat ini tengah membecinya. Semua kedekatan yang selama Ia dan tuan muda Phillips bangun hancur begitu saja hanya karena kesalahpahaman kecil.
Membalikkan tubuhnya menghadap ke tembok kamarnya yang berjamur, Eva bergumam pelan, “huh… seandainya Ia tidak perlu pergi ke manor Alaistair dan bekerja untuk keluarga kaya raya itu. Pasti aku sekarang tidak akan seperti ini… “
Tangan lentik Eva memainkan tali pengikat gulingnya asal. “ARGH!!! Tapi utang ibuku juga tidak akan pernah lunas sampai kapan pun kalau aku tidak bekerja dengan mereka!!!” lanjut Eva seraya menutup wajahnya dengan guling tua miliknya. “Ini semua karena nenek Jane, seandainya nenek Jane tidak menghantui cucunya itu dan langsung pergi ke akhirat aku pasti tidak perlu mengurusi cucunya yang manja itu!”
Bicara tentang nenek Jane, alih-alih ditinggal sendirian di dalam kamar, kini Eva justru merasakan kehadiran makhluk bersuhu dingin itu tengah ikut berbaring di sebelahnya. Dengan mata yang terpejam erat kini Eva dengan kesal menghembuskan napasnya kasar. Apa yang Ia pikirkan sehingga menduga bahwa nenek Jane akan meninggalkannya sendiri. Tentu saja nenek Jane akan mengikutinya kemana pun Ia pergi.
“Nenek sedang apa? Nenek mau tidur? Nenek sadarkan kalau nenek adalah hantu? Nenek tidak perlu tidur,” ucap Eva masih memunggungi nenek Jane, tangannya lalu meraih selimut berdebu dan berbau apek di ujung kakinya lalu menyelimuti seluruh tubuhnya.
“Hihihihi…” bukannya menjawab pertanyaan Eva, nenek Jane malah tertawa melengking tepat di belakang telinga Eva.
Eva merasakan bulu tengkuknya meremang. Terkadang Eva bertanya-tanya, apa memang nenek Jane ketika masih hidup selalu tertawa dengan nada setinggi itu? Atau memang semua arwah akan tertawa melengking seperti itu ketika sudah meninggal?
“Nenek boleh tidur di sini, tapi jangan berisik ya. Aku ingin tidur.”