My Boyfriend Is A Ghost

zozozo 🌷🌷🌷🌷🌷
Chapter #1

Prum Station

Eva mengeratkan pegangan tangannya pada sabuk pengaman yang menyilang di depan dadanya. Beberapa kali gadis berusia dua puluh tiga tahun itu memergoki sopir taksi berbaju kuning tersebut tengah mencuri-curi pandang ke arahnya melalui kaca spion mobil. Entah ini hanya perasaan Eva saja atau memang sopir taksi itu memadanginya dengan pandangan seolah-olah tak suka padanya. 

“Astaga, ada apa dengan sopir taksi ini? Kenapa dari tadi Ia seperti tidak suka denganku? Aku kan membayar bukan sekedar menumpang di mobilnya?” batin Eva kesal.

Eva kembali teringat dengan percakapannya dengan sopir taksi tersebut di depan stasiun kereta kota MidWare tadi sore. Betapa sulit bagi Eva untuk merayu sopir taksi itu agar mau mengantarkannya ke tempat yang Ia ingin tuju sekarang.

“Ke Manor Alastair.”

Setelah Eva mengatakan kemana arah tujuannya, sesaat setelah Ia keluar dari stasiun Prum, sopir taksi yang sudah setengah jalan memasukkan koper tua miliknya itu langsung menghentikan kegiatannya. Membalikkan tubuh kurusnya sembari meletakkan kembali koper tua milik Eva ke atas trotoar tak jauh dari tempat Eva berdiri. 

“M-m- manor Alastair?”

“Iya. Manor Alastair.”

“Jaraknya cukup jauh dari sini. Sekitar empat puluh lima menit. Kalau mau mengebut, kita bisa sampai sebelum gelap. Tapi kalau tidak mau mengebut lebih baik cari taksi lain saja. Aku tidak mau berkendara sampai ke manor Alastair dalam keadaan jalanan yang gelap gulita.”

Eva memandang malas ke arah sopir taksi yang mendadak terlihat pucat dan ketakutan itu. Sebenarnya Ia mau saja jika harus mencari taksi lain. Tapi setelah mengamati keadaan di sekitarnya yang cukup sepi, mustahil Ia bisa menemukan kendaraan lain sebelum gelap. Sepertinya Eva hanya bisa pasrah dan menerima bahwa Ia akan diajak kebut-kebutan oleh si sopir taksi. 

“Ehem ehem!“ Eva berdehem cukup keras. Berharap sopir taksi tersebut bisa sedikit sungkan karena sudah dengan terang-terangan memperhatikan Eva dan kembali fokus menyetir saja.

Metode Eva ternyata membuahkan hasil. Sopir taksi berusia paruh baya tersebut akhirnya mau tak mau mengalihkan pandangannya dan kembali fokus menyetir, mengabaikan Eva yang kini terlihat kesal. Mungkin si sopir taksi tersebut merasa sungkan, atau malu karena Ia telah tertangkap basah sedang memperhatikan penumpang yang seharusnya tidak Ia perlakukan seperti itu.

Eva sampai terheran, sudah tua begitu kok masih saja suka melihat gadis muda yang bahkan bisa saja seumuran dengan anaknya. Meskipun Eva yakin pak sopir itu bukan memandaninya dengan artian mesum, namun tetap saja itu sama sekali tidak nyaman. Apalagi jika melihat medan yang sedang mereka lewati saat ini, Eva tidak yakin akan ada yang menolongnya jika sampai sopir taksi itu melakukan sesuatu kepadanya. 

Setelah pak sopir taksi tak lagi memperhatikannya, Eva akhirnya bisa kembali menghela napasnya lega. Gadis berambut merah itu memperhatikan jalanan sepi kota MidWare yang Ia lalui saat ini.

Awan mendung yang menggantung di atas ratusan pepohonan di kanan kirinya membuat suasana sore itu semakin gelap. Eva yakin daerah ini sudah dialiri listrik, namun Ia masih merasa heran mengapa jalanan di kota MidWare bisa segelap ini. Menambah kesan misterius seakan-akan kota ini menyembunyikan sesuatu darinya. 

Melihat semua itu Eva jadi sedikit meragukan keputusannya untuk mengambil pekerjaan di kota kecil ini. Kota yang bahkan tak berhasil Ia temukan ketika Ia mencoba mencarinya di google map semalam.

Bahkan ketika tadi pagi Ia sampai di stasiun kereta dan mengatakan ke mana arah tujuannya ke penjaga tiket, si penjaga tiket berkepala botak tersebut langsung terlihat kebingungan dan pergi meninggalkan Eva yang nampak juga sama bingungnya dengannya.

Penjaga tiket tersebut kemudian terlihat mencari-cari beberapa berkas tua di dalam lemari. Tak lama setelah mencari-cari, si penjaga tiket tersebut kembali dan memberikan Eva sebuah tiket usang berbahan kertas tebal yang di dalamnya tertulis nama kota MidWare. Seperti dugaan Eva, mungkin tidak banyak orang dari kotanya yang ingin datang berkunjung ke kota MidWare sehingga membuat penjaga tiket malang itu kebingungan. 

Jika bukan karena Ia harus membayar utang mendiang ibunya yang kalau dihitung-hitung pasti sama tingginya dengan anak gunung yang tengah Ia lewati saat ini, Eva pasti akan mencari pekerjaan yang lain. Pekerjaan yang lebih baik atau setidaknya pekerjaan yang tidak mengharuskannya berada di antah barantah seperti sekarang ini. 

Eva memang tidak memiliki banyak uang dan waktu untuk berpergian ke luar kota, tapi Eva dulu termasuk anak yang pandai di sekolahnya, jadi sangat aneh baginya jika Ia tidak pernah mendengar nama kota MidWare sebelumnya. 

“Ck ... ” Eva berdecak kecil ketika menyadari kebodohannya, pergi jauh dari kota tempat tinggalnya untuk merantau. 

“Sungguh nekat,” pikir Eva kala itu, karena sejujurnya Eva pun tahu, mau bekerja mati-matian seperti apapun pasti tetap akan sulit baginya untuk bisa melunasi utang ibunya yang terus berbunga itu. Kecuali Eva tiba-tiba menemukan tumpukan uang yang banyak di tengah jalan atau paling tidak menikahi anak orang kaya, barulah Ia bisa melunasi utang ibunya itu.

Tapi tentu saja hal seperti itu hanya ada di film saja kan? Kalau di dunia nyata yang kejam ini, sepertinya Eva harus berusaha dengan sangat keras untuk mendapatkan uang sebanyak yang Ia butuhkan.

Beberapa hari yang lalu Eva merasa keberuntungan sedang berpihak kepadanya. Ia secara tidak sengaja melihat pamflet lowongan kerja yang tertancap di papan pengumuman di perpustakaan kota tempatnya bekerja paruh waktu. Eva heran, dengan nominal gaji sebesar itu, mengapa tidak ada satu pun orang yang mengambil lowongan pekerjaan ini. 

Gadis berambut ikal sepunggung itu hanya perlu bekerja di manor Alastair selama setahun dan Ia sudah bisa melunasi utang ibunya. Eva bahkan sama sekali tak peduli dengan jenis pekerjaan apa yang harus Ia lakukan, asal bukan berkaitan dengan tindak kejahatan saja, Eva pasti akan dengan senang hati melakukannya. Maka saat itu juga, karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Eva langsung menghubungi nomor kontak person yang tertulis di dalam pamflet tersebut. 

Setelah proses wawancara yang Ia lakukan beberapa hari yang lalu melalui sambungan telepon, barulah Eva mengetahui jenis pekerjaan apa yang Ia harus lakukan. Ia hanya perlu merawat dan menemani anggota keluarga Alastair yang tinggal di manor Alastair.  

“Cukup mudah,” batin Eva setelah menutup sambungan telponnya kala itu. Berpikir bahwa Ia hanya perlu menjadi perawat saja. Harusnya tidak cukup sulit, mengingat sebelumnya Ia sudah pernah bekerja sebagai perawat ketika menjadi relawan di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari tempat Ia bersekolah dulu. 

Lama Eva termenung seraya memperhatikan jalanan kosong di hadapannya. Sudah hampir tiga puluh menit berkendara tapi Eva belum sekalipun melihat kendaraan lain yang berpapasan dengan taksi yang ditumpanginya.

“Aneh, jalanan di sini memang sepi atau memang tidak banyak orang yang tinggal di daerah ini?” batin Eva seraya memperhatikan jalanan di sekitarnya. Hanya ada pepohonan lebat dan kabut putih yang membatasi pandangannya. 

Sebelum memasuki kawasan hutan seperti sekarang ini, Eva sempat merasa lega ketika melihat sebuah pedesaan yang terlihat ramai lengkap dengan pasar dan pemukiman penduduk. Eva hanya berharap jarak pasar dengan tempatnya bekerja tidak terlalu jauh sehingga mudah baginya jika saja Ia ingin berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Namun Eva salah, rumah-ruman di desa tadi adalah rumah terakhir yang Ia lihat sebelum akhirnya Ia memasuki kawasan hutan ini. 

Mata tajam Eva kemudian terpaku pada hutan belantara yang berada di kanan kirinya saat ini. Sepertinya hutan yang didominasi dengan pepohonan berwarna hitam itu tak kunjung putus. Dari jauh Eva dapat melihat beberapa ranting dan dahan pohon yang seakan-akan mencakar-cakar langit mendung di atasnya. Dahan dan ranting pohon berwarna hitam itu terlihat tak berdaun. 

Lihat selengkapnya