Tara pov
"Damn it! Kenapa harus hari ini, anji**?!" Teriakku kuat sambil menjambak rambutku. Kembali berputar saat aku harus menahan rasa kecewa karena papa dan mama tidak ada untuk menemaniku menerima piala dan piagam pemenang lomba biola tadi siang.
Air mata menetes, rambut berontokan, kepala berdenyut. Air mata mengalir, rambut berguguran, kepala terasa melayang. Lutut ditekuk, tenggelamkan kepala, menangis sekeras yang ku bisa.
Keadaan sangat hening, rasanya seperti dinding-dinding rumah menertawakan kesedihanku. Aku mengigit kuku tanganku, emosiku meluap luap. Nafasku terengah-engah.
Terdengar suara pagar yang dibuka, dengan cepat aku merapikan penampilanku lalu membukakan pintu. Aku tersenyum sinis pada kakak laki-lakiku yang berdiri oleng dengan wajah babak belur. Aku bersedekap dada di depan pintu. "Kenapa gak mati aja sekalian?" Tanyaku santai, terlalu santai bahkan.
"Banyak omong! Minggir lo!" Bentaknya lalu mendorong tubuhku dengan kuat. Dia langsung masuk ke dalam rumah dan berbaring di sofa.
Tanpa bisa berkata apapun lagi, aku menahan tangis. Jangan sampai dia melihat air mataku! Aku tidak akan lemah di depannya! Aku yakin, dia akan tertawa diam diam di belakang kalau aku kalah.
Mama masuk ke kamar dan menutup pintu kuat hingga menghasilkan suara yang keras. Aku mengigit bibir bawahku, menjentikkan jari, persis seperti orang gila! Itulah aku, Tara Levino. Seorang gadis biasa dengan potongan rambut pendek, dan jangan lupakan! Seorang adik dari Joshua Levino, brandalan yang terkenal di sekolah.
Papa merangkul bahuku, membawaku berjalan menuju halaman belakang. Hamparan pantai sedikit menyejukkan suasana hatiku. Ditambah lagi dengan langit malam dengan taburan bintang yang bersinar terang. Malam ini akan menjadi malam yang sempurna bila saja bang Joshua tidak berulah.
Tapi apalah daya, dia memang dilahirkan menjadi seorang pembuat onar, mungkin saja dia tidak akan bertobat sampai kiamat datang.
Lamunanku terbuyar saat papa bertanya dengan lembut. "Juara berapa tadi?" Aku memalingkan wajahnya kearah lain, tak menjawab pertanyaan papa.
"Marah ya?" Tanya papa mulai mengelus rambutku.