Segala sesuatu yang dapat kulakukan untuk mencegah pertemuanku dengan Natasia sudah kulakukan, dari mengumpat di kamar mandi selama jam istirahat (sekiranya dia datang pada waktu istirahat) hingga memikirkan timing dan rute terbaik untuk keluar sekolah sampai ke rumahku.
Bagiku dari pada repot-repot mencari alasan untuk kabur aku lebih memilih untuk kabur tanpa alasan, jika seandainya aku memberikan alasan yang sudah basi atau mainstream itu hanya akan memperaneh suasana, dan jika aku memberikan alasan yang bagus maka aku akan secara otomatis memberikan dia harapan palsu, dan menaruh diriku dalam ancaman pada keesokan harinya.
Setelah berlama-lama aku bergurau dengan diriku sendiri di dalam kelas, waktu pelajaran pun selesai, dan ini adalah saatnya untuk menggunakan strategi-strategi dan taktik khusus yang ku buat tadi untuk menghindari Natasia.
Tentu strategi yang ku pikir lama-lama hanyalah untuk pergi keluar sekolah secepatnya, selagi ku tak tau kapan ia akan datang dan di mana ia akan menunggu ku, untungnya ia terlihat seperti kupu-kupu sosial jadi pasti ia akan ditahan oleh teman-temannya sebelum ia dapat keluar dari kelasnya.
Untungnya sekolah ini memiliki dua jalan masuk, gerbang depan dan belakang, tentunya pilihan paling aman selalu gerbang belakang karena terdapat pohon yang angker di dekat gerbang itu sehingga rute itu jarang dilewati.
Bel sekolah pun berbunyi dan seketika guru meninggalkan kelas aku pun bergegas berjalan secepat mungkin melalui rute yang sudah ku rencanakan.
Dengan cepat aku berhasil mencapai pintu belakang sekolah, karena beberapa kelas masih dalam pelajaran pada saat itu aku merasa bahwa aku bisa memperlambat langkahku dan pulang dengan tenang.
Heh, untungnya tu guru gak nahan kelas kayak biasanya sekarang gua tinggal-
Seketika aku menginjak langkah pertamaku di luar gedung sekolah aku melihat penampakan yang langkah.
‘Dia’ yang selalu dibicarakan seperti makhluk mistis di sekolah ini berada di situ, tepat di bawah pohon di mana penampakan sering terjadi, ia bersandar di bawah pohon dengan auranya yang dapat mengintimidasi setan, ia membuat sekelilingnya terasa dingin.
Roni Agatha, ketua OSIS, predator paling ganas di sekolah ini, murid teladan dan langganan juara, apa pun yang dilakukannya selalu sempurna, namanya sudah sangat harum di sekolah ini, dan lebih harum lagi di dalam buku tempatku mengutuk.
Penampilannya yang lumayan, dan segala kesempurnaan yang ia miliki harusnya sudah cukup untuk menjadikannya sebagai idol sekolah ini, akan tetapi dikarenakan tatapannya yang tajam, auranya yang sangat mengintimidasi dan mulutnya yang ekstra spicy itu membuat ia dijauhi oleh orang-orang sekitarnya.
Menelan ludahku, aku pun mulai berjalan ke keluar tanpa suara, seperti pada saat bertemu hewan buas aku berusaha sebisa mungkin menghindari kontak mata dengannya.
Ck sial, kenapa harus dia yang ada di sini? Lebih baik gua ketemu hantu dibanding dengan si pendek tengik ini…
Ketika jarak antara diriku sudah mulai dekat dengannya aku pun memberanikan diri untuk melihat keadaannya.
Ia yang sedang bersandar di bawah pohon, dengan matanya yang sedang terpejam seakan sedang beristirahat, rambutnya yang hitam mengkilat, beserta kulit putihnya yang disinari cahaya matahari yang tersaring oleh dedaunan pohon, membuat pemandangan yang kulihat seakan suatu lukisan
Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan dan terlalu realistis untuk menjadi sebuah khayalan, sekiranya pada detik itu begitulah yang ku rasakan.
Namun matanya terbuka dengan seketika, matanya yang lebih tajam dari pedang excalibur itu seketika membekukan sekelilingku, ia pun menoleh kearahku dengan tatapan tajamnya itu.
Tiba-tiba insting alami ku keluar, dan menciutkan segala keberanianku yang ku pakai tadi untuk melihat ke arahnya, mataku pun secara alami memandangi batu-batuan yang ada di jalan, dan kakiku mulai mengenakan overdrive.
Astaganagah! Dipelototin 10 guru matematika + 1 hantu rasanya lebih mending dari pada ngeliat tatapannya tadi.
“Tunggu…”, tiba-tiba dari mulutnya terdengar suara halus dengan nada yang rendah.
Entah kekuatan apa yang dimilikinya tapi mendengar suara itu membuat kakiku terpaku dengan sendirinya.