My Cate

Raim
Chapter #1

PROLOG || BAVERLY NORCATE

Koridor tampak lenggang, membuat suara langkah kakiku seolah bergema dan mungkin saja sampai terdengar ke gedung seberang. Sudah tampak jelas sang matahari sebentar lagi akan terbenam. Langit senja memancarkan cahaya kemerahan kini menjadi satu-satunya penerangan jalanku. Tidak ada penghuni yang dapat mengisi keheningan sekolah ini. Memang seperti inilah sambutan hangat yang biasa kudapatkan. Lihat saja satpam di depan, ia hanya sibuk memanjakan dirinya, berleha-leha tanpa menghiraukan siapa pun yang masuk tanpa izin.

Kualihkan pikiranku pada pintu kayu yang tampak kokoh. Deritan engsel pintu menyuarakan kedatanganku begitu lantang. Lalu, yang kulihat bukan hanya sang pemilik ruangan tetapi juga laki-laki berkacamata yang menemaninya bermain catur. Selama seperkian detik, salah satu dari mereka mulai menoleh dan sadar akan kehadiranku.

"Ternyata dirimu sudah datang," ucap sang pria paruh baya yang kuketahui bahwa ialah si pemilik ruangan ini. Lalu, beliau mengalihkan pandangannya dariku kepada laki-laki berkacamata di hadapannya. "Sepertinya, permainan kita harus diakhiri sampai sini."

"Baiklah," balas laki-laki berkacamata tersebut sembari menegakkan cara duduknya.

Sang pemilik ruangan langsung berdiri tegap seraya memperbaiki jas yang dikenakannya. Kemudian berjalan dan duduk pada sebuah bangku yang dimana tertera sebuah kartu nama bertuliskan 'Kepala Sekolah' menggunakan tinta coklat.

"Silakan duduk, Baverly." Pak Kepala Sekolah memerintahku dan aku langsung menduduki sofa panjang.

Aku memperhatikan secara fokus ke seorang laki-laki berkacamata yang tadi bermain catur bersama Pak Kepala Sekolah. Ia memakai setelan formal dan wajahnya terlukiskan tanpa ekspresi. Penampilannya yang paling menonjol adalah sebuah tindik hitam berukiran silver pada salah satu telinganya. Dia memberi kesan cuek dan beraura dingin hingga membuatku menepiskan perasaan gugup yang disebabkan oleh hawa laki-laki tersebut. Kualihkan pandangan ke Pak Kepala Sekolah untuk memberi kode agar memulai pembicaraan.

Pak Kepala Sekolah memulai pembicaraan. "Baiklah, kita semua sudah berkumpul. Mari kita mulai pembicaraannya."

"Langsung pada intinya saja," sela laki-laki berkacamata tadi yang sedang duduk di sofa kecil. Sepertinya dia adalah tipe manusia anti menghabiskan waktu begitu lama.

Pak Kepala Sekolah spontan berdeham sebelum berkata, "Berapa hari yang tersisa untukmu dalam menjalani diskors, Baverly?"

"Lima belas hari lagi," jawabku.

"Berapa kali dirimu mengalami skorsing selama belajar di sekolah ini?" sambung Pak Kepala Sekolah menggunakan pertanyaan lagi.

"Dua kali."

"Dan apa penyebab kamu hingga diskors seperti ini?"

Seketika kupasangkan raut muka lesu yang mengartikan rasa kesal akibat diberi pertanyaan konyol tersebut. "Pak, mengapa menanyakan hal yang Bapak ketahui sendiri jawabannya?"

Serta merta aku ikut melirik ke arah laki-laki berkacamata tadi pada saat Pak Kepala Sekolah meliriknya. Kemungkinan, pertanyaan-pertanyaan tadi diinginkan oleh laki-laki berkacamata tersebut dan Pak Kepala Sekolah hanya mewakilinya. "Jawab saja, Baverly."

Kuubah pandanganku ke arah laki-laki berhawa dingin itu dan menjawab, "Saya diskors akibat merundung dan terus menerus menunggak bayaran semester sekolah."

Sekolah ini begitu pelit, hingga tega memberikan diskors pada penunggak bayaran. Aku adalah cewek yang miskin dan tak sudi untuk mengakuinya. Meskipun begitu, aku tidak belagak kaya di depan semua orang. Kemudian perihal perundungan, aku hanya memberi pelajaran dengan menampar orang yang telah mengatakan bahwa aku adalah gelandangan. Walaupun fakta, aku tidak terima hal itu. Akan tetapi, justru diriku terkena imbas dengan dilaporkan tuduhan yang dilebih-lebihkan.

Mungkin ini adalah karma yang kudapatkan.

"Saya memberinya masa pengujian yang dimana mendapatkan ancaman keluar dari sekolah jika mengulanginya sekali lagi," ucap Pak Kepala Sekolah pada laki-laki berkacamata itu.

Mendengar hal tersebut, spontan membuatku menggertakkan gigi. "Keluarkan saja, Pak. Saya sudah muak dengan kehidupan sekolah seperti ini."

Pak Kepala Sekolah menatapku tajam dan laki-laki berkacamata tadi mulai mengeluarkan suaranya. "Daripada dirimu dikeluarkan secara sia-sia akibat ulahmu tersebut, lebih baik turuti permintaan saya dalam menjalani tugas yang akan bermanfaat bagimu."

Lihat selengkapnya