KRING!
DRAK!
Menyebalkan. Satu kata itu cukup untuk mendefinisikan setiap pagi hari di kehidupanku.
Yeah, jam weker yang begitu berisik selalu aku lempar ke sembarang arah hingga baterainya terpental ke luar. Tentu saja hal tersebut membuatku selalu rajin pergi ke swalayan untuk membeli baterai baru. Aku mempertahankan jam jelek itu karena tidak mau dibangunkan dengan cara pintu digedor-gedor secara brutal oleh Mbak Sri, alias pembantu rumah tanggaku. Sebenarnya, aku lebih takut padanya daripada orang tuaku sendiri. Dengar-dengar sih, otot mbak Sri setara para kuli, ups.
"ZEHA!!"
Suara yang begitu melengking di telingaku dan berhasil membuat kepalaku muncul dari jendela kamar untuk menanggapi sang peneriak bersuara cablak tersebut.
Jika ada yang bertanya, siapa itu Zeha? Itu adalah namaku. Iyap, namaku Zeha Peevercate. Nama yang keren, 'kan?
"Iya-iya, lo duluan aja deh," ucapku kepada si peneriak, yaitu Darren.
Ada satu hal yang penting dan akan kuberitahu. Aku memiliki sahabat kecil yang bernama Darren. Cowok supertengil, blak-blakan, pecicilan, selera humor yang receh dan tingkahnya seperti badut di pinggir jalan. Eits, walaupun seperti itu, dirinya termasuk anak yang cukup ramah dan peduli akan sesama.
Entah kenapa, dia selalu bersikap sok keren di depan semua orang, kecuali aku. Seperti yang diketahui oleh semua orang bahwa koin selalu memiliki dua sisi. Perumpamaan itu cocok untuk Darren yang dimana sisi lainnya selalu tidak tahu malu jika berhadapan denganku. Tambahan info, dia adalah cowok yang selalu menemaniku sejak kecil. Dia sangat peduli dengan kehidupan rumahku yang begitu sepi karena kedua orang tuaku sedang sibuk bekerja di negara tetangga. Aku jadi bersyukur memiliki teman yang setia seperti Darren.
Oke-oke, skip dulu tentang tadi.
Mode kecepatan kilatku telah aktif untuk mempersiapkan segala ritual di hari pertama sekolah baru. Yeah, kami yaitu Darren, Crystal dan termasuk aku telah sepakat untuk pindah sekolah karena tragedi di sekolah lama. Ah, semakin diingat, semakin diriku ingin menonjok siapa pun di jalan. Lupakan saja, deh.
Crap. Aku lupa bahwa hari ini bukan saja jadwal diriku menjadi anak pindahan baru pada semester awal tepat tahun ke dua di SMA. Akan tetapi, hari ini adalah niatku untuk menyatakan perasaanku kepada Darren.
Semua orang juga mengetahui jika dalam pertemanan antara lawan jenis pasti akan melibatkan perasaan, dan salah satu korbannya adalah aku.
Sekarang aku sudah selesai mempersiapkan diri dan mulai berlari-lari di trotoar menuju ke sekolah. Kemudian, kulihat punggung Darren yang berjalan jauh di depanku. Kakiku menaikkan kecepatan untuk menghampirinya hingga berhasil membuat nafasku terengah-engah.
Aku berhasil menyusul Darren, lalu menarik ujung baju seragamnya seraya menghirup oksigen dengan rakus. Astaga, mengapa tempo detak jantungku meningkat? Apakah karena gugup?
"Ren, gue suka sama lo! Gue kagak bisa pendam terus-menerus selama kita berteman," ujarku dengan mengharapkan balasan yang indah dari mulutnya.
Selama beberapa detik, Darren terdiam dan tidak menoleh kepadaku. Apakah dia terkejut atau pura-pura tuli?
"Zey, lo ngapain?"
Holly crap!
Mengapa suara Darren terdengar dari belakangku? Oke, aku harus tenang. Kepalaku spontan menoleh secara perlahan dan mulai terperangah hebat. Sial, sial, sial! Darren ada di belakangku. Rupanya aku berlari dan tak sadar telah melewatinya.
Yeah, aku telah menyatakan cinta kepada orang asing. Gila, aku malu tingkat dewa! Betapa bodohnya aku sampai terlalu terburu-buru hingga salah orang. Momen sial ini pasti tidak bisa kulupakan seumur hidup.
Manusia yang berada di hadapanku seketika memutar badannya dan memandangku dengan memasang wajah tanpa ekspresi. Dia mungkin berpikir bahwasanya aku adalah orang yang ingin sok akrab padanya. Lihat saja tampangnya, dia pasti jengkel padaku! Pasti urat maluku akan meletus dan wajahku memerah seperti orang yang demam 45°.
"Eh, maaf. Salah orang," ucapku seraya menyeringai kaku, dan berjalan mundur perlahan hingga bersanding bersama Darren.
Ah, sungguh memalukan.
"Lo ngapain tadi?" Darren bertanya superkepo yang mengartikan dirinya tidak mendengar pernyataan cintaku pada orang lain.
"Sudahlah, kagak perlu tau!" sergahku.
Mungkin sekarang bukan saatnya untuk confess kepada Darren. Okelah, bisa kulakukan lain kali saja.
Kami melanjutkan perjalanan yang tak memakan waktu lama untuk sampai di sekolah baru. Saat memasuki gerbang yang terbuka lebar, terlihat pemandangan gedung berlantai tiga, taman di depannya dan lapangan parkir yang dipenuhi oleh kendaraan anak-anak tajir. Tidak hanya itu, bahkan anak-anak di sekitar kami banyak yang berlagak seperti selebriti, terutama para cewek.
Darren merangkulku ketika memasuki koridor lantai pertama. "Untuk pertama kalinya kita nggak sekelas. Tega bener nih sekolah misahin kita."
Sejak kami menginjakkan kaki di dunia pendidikan, tidak ada satu pun sekolah yang memisahkan kelas kami. Tidak tahu kenapa, sekarang justru berbeda.
"Kagak masalah." Aku menghela nafas berat, kemudian melanjutkan, "Sekali-kali kita
terpisah, biar kagak contek-contekan."