My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #7

6. One Night Stand

Kita akan bersama sampai semua menjadi kebahagiaan." ujaran dia berkumandang. Perkataan dia terlampau merunjam perasaan. Elusan yad dia di sirah membentuk rasa aman. Terbias ada rasa waswas kehilangan Norlorn. 

Namun, tidak mungkin Norlorn bersamaku selamanya. Mata berupaya untuk berpalis namun saraf tak simultan. Memilih tetap memandang iris mata Norlorn. Aku merapat lebih dekat. Kiranya diri ini sudah terselap bagaimana mereguk dekapan?

"Aku memahami, Nona." kata Norlorn.

Apa iya? Masih ragu oleh ucapan dia padaku tadi.

"Nona belum percaya padaku?" Pertanyaan dia menggerendel pikiran. 

Aku menggeleng. Aku bermaksud memutuskan perbincangan tapi tidak bisa. Hati menetapkan ingin berhubungan. Pretensi lengkara kuharapkan. Lebih-lebih lagi, kami bertentangan makrokosmos dan faset. Apa benar, mayoritas makhluk tak kasat mata itu licik? Jika iya, bagaimana dengan penulis sekaligus praktisi paranormal seperti Risa Saraswati dan aktris, Sara Wijayanto bersama "teman-teman" mereka? Tumbuh bersama bahkan terlihat maju.

"Maaf,"

"Aku mengerti Nona, karena baru malam ini kita berbincang lebih lanjut." ujar Norlorn.

"Bukan belum percaya, aku perlu waktu." elakku.

"Baik. Aku tunggu sampai kau siap, Nona." Norlorn tersenyum, sembari memperlihatkan barisan geraham bersih dia.

Ada panorama memikat pada sela gigi, menyembul selarap caling mungil di bagian kanan dan kiri. Gigi taring itu mencelikkan pada sebagian teman laki-laki Karisma di Jepang, nyaris seluruhnya mempunyai caling. Ibarat keturunan vampir. 

Berdasarkan kabar, gigi gading merupakan salah satu standar kecantikan Jepang. Desas-desusnya, gigi sangir membuat penampilan lebih memukau. Memang benar saat aku melihat Norlorn dia tambah menawan selagi mengunjukkan gigi. Aku termangu sampai....

Anak jari Norlorn mengejutiku, "Apa yang kau pikirkan, Nona?" Kebingungan terdengar di pertanyaan dia. 

Aku tersenyum sambil menggeleng. 

"Yakin tidak memikirkan apa pun?"

"Aku bersumpah,"

Dia meneroka mataku dalam memeriksa ingatan. Beberapa detik setelahnya, pupil dia menyempit. 

Kemudian, Norlorn tersenyum seiring corak ahmar di pipi. Ekspresi dia berubah haluan laksana roller coaster.

"Aku percaya padamu, Nona." cetus dia. Syukurlah Norlorn percaya. Dia tidak mengerti giginya interesan. Bibirku melengung ke bawah mencairkan suasana. Gerak nyarik jarum jam dinding mengusik kelengangan. Hanya ada mata baku pandang satu sama lain. 

"Nona..." 

Sebuah pembukaan terdengar dari mulut Norlorn. Tidak menyangka materi obrolan serasa timbul lagi. Batas perbedaan seakan hilang, hanya ada dua makhluk berbeda dimensi sama-sama pasif. 

"Menarik," 

"Apa?"

"Rahasia." Lidah terjulur menggoda.

"Huh...."

Aku tahu dia ikut penasaran dengan kata menarik kubilang selintas. 

"Ada apa?"

"Katakan padaku Nona, apa yang menarik?"

"Penasaran ya?"

Norlorn menyomasi dengan memajukan bibir. Aku mesem seraya bersuara, "Aku perlu bilang?"

"Katakan padaku sekarang, Nona!"

"Baiklah. Aku mau bilang senyumanmu menarik." ucapku.

"Menarik?" Norlorn terpegun.

"Kamu mau tahu kenapa senyumanmu menarik?"

"Aku ingin tahu,"

"Karena taring kecil milikmu,"

"Aku tidak mengerti...." Dia menggeleng.

"Sebentar,"

Aku mengambil ponsel sambil membuka galeri foto, mengungkapkan foto beberapa teman hosuto yang mempunyai senyum menarik. Dahi Norlorn mengerut. Kurasa dia heran melihat foto pria-pria "cantik" di ponsel. 

"Siapa mereka?"

"Mereka teman Kakak tiriku, Karisma."

"Terlihat mirip wanita." Norlorn terkikih.

"Rata-rata memang begitu. Tapi mereka laki-laki tulen kok." Aku meluruskan tanggapan Norlorn.

"Oh ya?"

"Walau bishounen mereka sebetulnya macho." 

"Bishounen?"

"Sudah kuperlihatkan di foto."

"Seperti itu yang disebut bishounen?"

"Ya, termasuk." jawabku singkat.

"Apa aku juga termasuk bishounen, Nona?" tanya dia banyol.

"Hummm... apa ya?"

"Ayolah Nona jangan membuatku tidak tenang malam ini!" Harapan dia meninggi, keingintahuan ia berada pada fase puncak.

"Rahasia,"

"Katakan padaku atau...."

Norlorn mengarahkan tangan dia sembari menggoleng daguku. Dia memiringkan wajahnya melekati birai. Dia mau melakukan apa? Renyut hati lebih cepat, bergolak tak tentu."Katakan cepat! Atau kau akan aku..."

"Ya... ya, aku mau ngomong...." Kujauhkan jarak pandang dari wajah dia.

"Ayo cepat!"

Lagak dia mirip mafia. Menodong dan menuntut. Aku tidak ingin membuat perkara pada dia. Memang lebih baik cepat dikatakan daripada beradu lidah semacam masa lalu di rumah Ayah sesudah pengusiran Karisma dari rumah dan berakhir depresi di sana. 

"Sabar dulu,"

"Ayo!"

"Kamu bukan bishounen," 

"Lalu apa?"

"Bidanshi," 

"Apa lagi itu?" Mata dia menyipit.

Lihat selengkapnya