Pendar suam mengenai muka dari mirat bagian atas, mendesak mengorak mata. Aku mengejap sebentar. Pupil mengerbuk suasana sekeliling. Vista permanen di kamar Norlorn. Makhluk itu masih terpejam di sebelahku.
Paling tidak, dia tidak meninggalkan tubuhku begitu saja di kamar. Biji mata meluaskan tilikan setiap penjuru. Rapat. Cuma ada gawai lewah sepaket interior Eropa klasik. Apa tujuan Norlorn memboyongku ke sekatan?
Setop berpikir yang mustahil Giovani! Untuk apa dia menahan perempuan tidak ada sisi menggoda dan sensual di mata lelaki? Apa motifnya andaikata aku disandera? Yang benar saja! Apabila kesudahannya semacam ini lebih baik menanti Norlorn bangun. Tidak terlalu buruk ada di sini. Tidur di ranjang empuk berlainan rasa dengan kasur di pondok.
Sepertinya betul Norlorn adalah famili kerajaan. Diproyeksikan dari keseluruhan bagian kamar. Lebarnya barangkali lima belas kali lipat dari kamarku.
Beberapa pajangan idiosinkratis juga belum pernah dilihat rancangannya. Tubuhku bergolek ke kiri dan ke kanan bak bocah. Kapan lagi leyeh-leyeh di ranjang mewah? Pertama kali sepanjang profesi selaku tafsir Tarot menjelajah alam lain. Aku tidak mau memikirkan ini mimpi atau bukan. Masa bodohlah!
Umpama bunga tidur bagaimana bisa aku bersebelahan dengan dia? Kepala mencodak ke kaca plafon. Ternyata, hari mulai senja. Dismilaritas gamblang dari waktu dunia manusia. Digresi.
Norlorn, kapan kau bangun? Relung hati berkeriau memohon Norlorn agar dia cepat bangun. Apa-apaan dia itu? Membawa perempuan ke kamar sementara dia terlelap. Mau pulang tidak tahu cara, ingin keluar takut tertangkap. Apalagi kiat selain menanti matanya terbuka?
Kumohon kau bangun! Sedetik saja. Diriku ingin memastikan kau menepati janji. Aku ingin pulang!
Temperatur kamar kian rendah. Bahkan mulut keluar asap pada setiap tiupan napas. Aku tidak dapat menahan dingin lebih lama. Apa wine semalam berpengaruh ke suhu tubuhku?
Kamar sebesar ini tidak ada kemul? Bisa mati beku terkurung dalam kamar beraama laki-laki beda dimensi. Pikirkanlah Giovani! Kau tidak ingin mati konyol di sini 'kan?
Fuad membelot. Nalar berorasi kalimat hasutan. Ingin merunjam kepala jika bisa agar otak jelah. Aku berusaha tetap bertahan dan berharap keajaiban terjadi.
Hari suah petang berbinar cahaya layung tua. Sekelompok khalayak bersayap mengudara di dirgantara. Entah penghuni atau fauna apa tidak diketahui varietas mereka. Jagat ini penuh rahasia, termasuk Norlorn. Dia membiarkan seonggok tubuh terlalu lama dalam kamar.
Hawa frigid bertalu-talu merusuk selira. Mati rasa. Tidak bisa merasakan apa pun. "Nor... lorn...."
Pelupuk mulai melingsir lalu....
Ada vibrasi suara melintas. Bagai siuman, suara itu merupakan suara kukenal. Dalam cerih energi kumenjempalikkan badan. Norlorn telah hadir beserta sekubit senyum sekaligus harap-harap cemas. Fokus dia resah.
"Kenapa?"
"Ätasdqrh tud leībht." Logatnya patah lidah. Mata dia mengilap.
Dia memang bangun dari tidur, tapi aku mengharapkan dia bangun bukan dengan rona kesayuan. Yang dibutuhkan hanya selimut sebelum membeku bukan mata sayu.
"Ada apa denganmu?"
Norlorn merangkup, pelukan di ranjang membuat kemelitan. Kuusap punggung dia. Dia menangis.
Ma... af," jawab dia pelan.
Aku menyenggap. Sudah tidak ingat cara menenangkan orang lain seperti dulu.
"Noey, kamu...." Lidah kaku. Dekapan Norlorn tambah rapat. Terus terang tak ingin kehilangan pelukan itu di sini bahkan selamanya.
"Maaf, aku membiarkan Nona terlalu lama." ujar dia mengusap air mata.
"Sebenarnya aku cuma...."
Kesekian kali bibir dia menghempap bibirku lalu tersungkap. Sepasang tangan dia tak membiarkan pergi. Norlorn diam seribu bahasa sehabis meminta maaf. Biji mata biru menengadah ke lelangit. Sudah gelap. Cakrawala berwarna biru tua kelabu tergelar luas di kaca pagu.
"Kamu baik-baik saja?"
Norlorn sama sekali tidak beranjak memaut tubuhku. Mata dia mengagah angkasa. Fisik ini sudah lebih pesam menanding sore walau tetap perlu selimut. Agak lupa destinasi pulang ke buanaku karena tak tega membiarkan Norlorn. Namun, bagaimana pun juga aku mesti melangsir sebelum terlalai.