My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #11

10. Aku Sedang Jatuh Cinta

Sudah saatnya berhenti mengenangkan masa lalu fokus ke masa kini. Sebuah kalimat umum yang enteng tapi realisasi rumit. Tak hanya malam, siang juga selalu bergundang. Rasa tidak mengantuk mengenai mata sekali pun kondisi mata tertutup. Aku amat benci mengalami fase begini kesekian kalinya. Bisakah hidup tenang tanpa memikirkan “itu”?Urusan pembuat jengkel dan kepala pecah.

“Tidurlah....” ucap suara dari belakang. Aku mengenal sekali suara itu, milik dia si makhluk antah berantah.

“Noey,” 

“Tidurlah. Kutemani.” ujar Norlorn. Tangan dia mendekapku.

“Tapi...”

“Aku bilang tidur!” 

Kalimat lebih terdengar seperti perintah. Kutarik napas sambil mengembus perlahan memfokuskan untuk tidur. Hitungan pertama belum ada perubahan, sampai rekanan ketiga pandangan berubah menjadi ruang pekat dan semuanya pudar. Cuma hembusan angin menemani dan tangan Norlorn. Hingga aku....

*** 

“Buka matamu, Nona.”

Pelupuk mata terdedah. Kubangkit dari ranjang memperhatikan ruangan, di kamar Norlorn kedua kalinya. Norlorn berada di samping ranjang dengan senyum. Kenapa dia begitu? Senyuman aneh!

“Tsükl blêigh qænt[15].” Norlorn mendehem kecil, mata dia menjara dari ujung rambut hingga kakiku.

Apa yang dia katakan?

Norlorn menyambung, “Gaun itu tampak harmonis untukmu, Nona.”

Gaun yang mana? Berani bersumpah dalam nama burger kurang saus, aku tak memakai gaun! Sampai akhirnya mataku mengarah pada tubuh sendiri,

Jeritanku meringking. Kaos oblong dan celana pendek berganti gaun mewah bagai putri kerajaan. Gaun berwarna merah marun membuat diri terkejut. Kapan Norlorn memakaikan busana mewah ini? Pakaian yang lebih pantas disebut baju pesta. Berhias manik permata pada setiap lipatan, bagian atas dominan mengekspos bahu dan belahan dada. Terlihat elegan walau pada bagian dada agak kebesaran. Sehingga hampir terekspos sampai belahan bagian bawah. Dengan lengan panjang bermotif unik, gaun ini panjangnya lebih dari mata kaki.

Rasanya ragu untuk dipakai berjalan. Bagaimana kalau jatuh? Aku melamun sampai-sampai sesergahan dari belakang menyirapkan darah, “Cepat pakai sepatumu, Nona.” Dia menyodorkan sepasang sepatu berwarna eingengrau berbentuk lapik balerina. Terlihat sepadan pada gaun di badan. 

“Untuk apa?”

“Ada pesta dansa di aula kerajaan. Aku ingin kau ikut, Nona.” jawab dia. 

“Pesta dansa?”

“Iya. Aku tunggu di bawah,” Norlorn memujuk, gisik dia turun ke pundak. Kecupan pendek menyulut beranta.

“Aku nggak ingin ke pesta dansa.” Aku menolak.

“Ayolah, Nona. Hanya sekali saja.” Dia tetap merayu. 

“Baiklah aku ikut, tapi...”

“Tapi?”

Kumenengok. Aku baru sadar Norlorn memakai kostum berbeda dari pertama datang. Kostum lengan panjang berkerah tinggi bernuansa asfar gemerlap bersama buah baju berwarna aswad. Dihias rantai kecil platinum di bagian kiri, memakai celana senada kostum. Tersisip syamsir bertudung sarung pedang pada pinggang beserta sepatu sebetis warna hitam. 

Kenapa malah terlihat tambah gagah? Macam pangeran cerita rekaan saja. Melihat Norlorn seperti ini rasanya tidak ingin ke pesta terburu-buru.

“Aku ingin di sini sebentar lagi.” jawabku mengagau kausa.

“Hmmm....”

“Kenapa?”

“Baiklah,” Norlorn mengangguk.

Dia menyeringai binal, meniban tubuhku seraya meraih selimut. Aku semakin menyukai jika sikap dia terus begini. 

Norlorn memepet sembir pada telinga, “Aku tahu kau menginginkan ini, Nona...” 

“Sebelum pesta dansa,” sahutku memaut leher dia.

Lengan Norlorn melorotkan pakaianku hingga buah dada. Gisik dia menghidu gala melandai pada bahu dengan sedikit lamban, dia mengisap intensif. 

“Masih ingin ikut pesta, Nona?” Dia mengerem serejang. 

“Aku inginnya begini,” Kusinggung wajah dia.

“Ku hargai keputusanmu. Namun, aku tetap harus mengikuti pesta dansa.” cakap Norlorn.

“Silakan saja,”

“Kau ingin aku berdansa dengan perempuan lain, Nona?” Norlorn menggonjak.

“Bukan urusanku!”

“Yakin?” Dia mencebik.

“Sudah sana,”

“Seandainya perempuan lain merayu diriku bagaimana? Sudikah dirimu?” 

“Nggak peduli.”

“Benarkah?”

“Ya.” 

“Kalau perempuan lain mengajakku untuk melakukan itu, apa kau terima?” tanya Norlorn memberi penekanan pada kata itu. 

“Nggak boleh!” balasku mencubit leher dia. 

Lihat selengkapnya