Kamar Norlorn, malam hari waktu setempat
“Gigi...”
Lamat-lamat kumenyimak suara Norlorn dari atas. Kelopak mata terangkat pelan bersama kepala. Dia memperhatikan paras bangun tidurku di pembaringan. Selintas, simpul senyum ranggi terbingkai curai di tampangnya.
“Gigi masih mengantuk?” Tapak tangan dia membetulkan rambut kusut masai punyaku.
“Nggak,”
“Dari wajahmu,”
“Setiap bangun tidur aku begini.” Aku mungkir.
“Hahaha....”
“Kenapa ketawa?”
“Gigi tahu tidak?”
“Tahu apa?”
“Kalau perempuan itu cantik setiap bangun tidur.” sahut Norlorn.
“Gombal!”
“Aku serius.” madah dia, seloroh.
“Mungkin,”
“Terima kasih ya.”
“Untuk?”
“Berkata jujur jika kau menyayangiku.” Dia bersemuka.
“Maaf, aku nggak bisa sembunyikan lama-lama.”
“Tidak apa-apa, aku juga menyayangimu.” Norlorn merapatkan kepalaku ke dadanya.
“Rasa tersingkat yang pernah ada,”
“Apa maksudnya, Gigi?”
“Selama ini baru kamu yang bisa buka hatiku setelah aku lupa menaruh kuncinya di mana. Hahaha....”
“Aku jadi malu.” Warna merah jambu menghiasi kedua sisi wajah ia.
“Terima kasih sudah menanganiku dengan baik.” bicaraku.
“Sama-sama.”
“Aku benar-benar suka pelayananmu.”
“Benarkah?”
“Seandainya kamu hosuto aku akan pesan kamu setiap ke kelab.” Aku cengengesan.
“Aku tidak ingin jadi hosuto, tapi....”
“Tapi?”
“Menjadi sosok yang selalu ada untuk Gigi di mana pun, dan kapan pun.” Norlorn menyambut. Sesekali, bibir dia mengesun bibirku.
“Memangnya bisa?”
“Bisa kalau kau mau.” jawab dia.
Norlorn bangkit bersender di punggung ranjang menopang torsoku. Merasa aman dan nyaman bersama dia, semua pikiran masa lalu menjadi plong setelah tertanam tahunan. Norlorn membelai pungkur. Mendadak dadaku lara.
“Kamu apakan aku, Noey?” tanyaku mencengap.
“Maaf Gigi, aku ingin mencoba membersihkan cakra jantungmu,” ucap Norlorn.
Jari dia membubut jantung. Aku mengedau, Norlorn membelalak. Tangan kiri dia menupat mulutku seraya mencabut tangan kanan dia dari pungkur. Ada gumpalan lebih besar dari kepalan Norlorn warna erang beraura tumpat. Kerlingan biji mata biru sebening safir meregang, kemudian meremas bongkahan menjadi serbuk dan meniup sampai habis.
“Apa itu tadi?” Pupil membesar melihat abu hitam berkimbang-kimbang lalu hirap.
“Semua itu energi penyumbat cakra jantung.” Norlorn mengaru.
“Oh ya?”