My Dear Norlorn!

Giovani Alvar
Chapter #14

13. Dunia Baru

“Bangunlah sebelum pelayan datang,” Norlorn mengeloskan dekapan dari pinggang.

“Nggak bisa dilanjut?” 

“Memangnya mau dilanjut apa?” Bibir Norlorn terangkat seperdua, persepsi sundal mencolok seakan membangunkan kembali vitalitas tertunda.

Kusentuh bibir di wajah dia. Kemudian, Norlorn menjatuhkan badannya rendah semacam tadi. Pupil dia melihat saksama bola mata milikku. Suak dia ikut merapat, bersentuhan dengan penghidu. Mata ini menyungkup menunggu si rupawan sensual menjajat bagian dalam sambil bersilih saliva miliknya.

“Kau ini agresif sekali,” Norlorn berpaling.

“Sudahlah lakukan saja! Nggak perlu debat.” 

Tubuhku menerjang dia. Norlorn memperhatikan air muka. Dia membuntang. Pupil miliknya membulat. Rona merah visibel di pipi dia, suara Norlorn terdengar gugup, “Mau—apa—kau?” 

“Kamu ingin tahu, sayang?”

 Norlorn balas seringai, dia mendempetkan wajahku. Dia bagai ksatria buas di peperangan dan sensual dalam gerakan melayani sosok haus belaian. Seksi sekaligus garang, kombinasi harmonis. Norlorn meraba paha, “Apa sayang? Katakan padaku.”

“Kamu inginnya apa?” 

Aku mengawai kancing kostum dia membuka satu-persatu. Dada bidang Norlorn terpampang, kepala kujatuhkan seraya mencium aroma tubuh seksi nan jahanam miliknya.

“Semuanya. Semuanya yang ada di dirimu,”

“Benarkah?”

“Tentu saja.”

Jari dia semakin bermain dalam daerah kelemahan, meningkatkan tempo permainan. Begini saja sudah menimbulkan sensasi nikmat, apalagi dikombinasi bersama ciumannya?”

“Kau suka?”

“Selalu kalau itu kamu,” 

“Aku juga.” Norlorn membelai lembut rambutku. Sesaat, sentuhannya terhenti.

“Sudah ingin?” tanya Norlorn.

“Aku memang ingin,” 

“Setelah sarapan.” Norlorn bungkas, dia mengemban tubuh pendekku.

“Aku nggak tahan lagi!” ucapku merenyeh.

Norlorn menapuk kening, lalu bernegosiasi, “Sabar sayang, setelah jalan-jalan mau?”

“Seka...”

Dia menggerendel perkataan. Bibir menggiurkan kepunyaannya mengasak bibirku. Mulut agak kubuka agar mempermudah indra perasa Norlorn mengelana. Menunggu belintan tak berangka sena liar merodong di dalam.

Beberapa saat menunggu, lidah sensual dia mulai beraksi. Berputar menjajap palka mulut. Nada kecapan terdengar mersik sembari meninjau pengembaraan dia dan bergilir saliva kutunggu. Kemudian, kecupan reda.

“Kenapa berhenti?”

“Aku tidak ingin para pelayan melihat kita.” Norlorn mengimbau.

“Masa bodoh dengan pelayan!”

“Kau lupa? Kita belum menikah.”

Belum meneruskan pembicaraan hingga selesai ada dua orang laki-laki masuk ke kamar. Bersetelan kemeja putih panjang, berompi hitam dengan celana bahan berwarna senada dan dasi kupu-kupu berangkap pantofel kemilap. Sesosok laki-laki berambut cokelat gelap, berwajah manis tanpa anting di telinga. Di sebelahnya, laki-laki berambut warna lemon, berparas menarik, berpupil deragem memakai kalung dan anting logam. 

Mereka mengamati posisiku. Kelihatan di raut dua persona itu gelagapan memandang sosok perempuan bersama Tuannya. Dwi pasang mata menempak satu sama lain, troli kayu berisi nampan makanan dengan tutup masing-masing statis di tempatnya. Norlorn membelalak untuk membuyarkan fokus sepasang bedinda.

Jükh zu gréitke?! [16]” Norlorn mengkritik jelah.

Dua pelayan tergegau mendengar Norlorn berbahana. Gelagat mereka pucat kesi. Kemudian, mengucapkan beberapa kalimat bahasa asing tak kumengerti sambil undur diri dan keluar kamar.

“Siapa nama dua sosok tadi?”

“Tavin dan Adome.” Norlorn menjawab pendek.

“Yang mana Tavin dan mana sosok Adome?” Indra penglihat penasaran pada jejak aura dua pelayan.

“Ehem—“ Norlorn mengacau sentralisasi.

“Aku hanya ingin tahu,”

“Apa kepentinganmu ingin tahu para pelayan?”

“Cuma bertanya.” jawabku sekadarnya.

Alis Norlorn naik membelek mataku sebentar. Lalu dia membuka anekdot, “Baiklah aku percaya. Tavin tidak memakai anting dan kalung. Jelas?”

Lihat selengkapnya